Jumat, 21 Desember 2012

Ahmadiyah Bandel, Tidak Patuhi SKB dan PBM

Ahmadiyah Bandel, Tidak Patuhi SKB dan PBM

Pemerintah tidak optimal menyelesaikan persoalan Ahmadiyah hingga konflik mudah tersulut di masyarakat.
Tim Peneliti Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Farchan Muntafa menjelaskan Ahmadiyah belum mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) dan Peraturan Bersama Menteri (PBM). Hasil temuan penelitian di lapangan menunjukkan banyaknya konflik yang terjadi karena Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak sepenuhnya mematuhi SKB dan PBM tersebut.
Menurut Farchan, umat Islam sudah mematuhi dan tidak terpancing menyulut konflik tetapi JAI sendiri banyak melakukan pelanggaran dengan melakukan syair-syiar ajaran mereka. “JAI melakukan syiar seperti ada website-website, ada pendirian masjid JAI tanpa sepengetahuan masyarakat. Seperti contoh di Bekasi sepuluh meter dari Masjid Agung ada Masjid Ahmadiyah,” tutur Dosen Universitas Padjajaran ini kepada Media Umat, Selasa (11/12) saat seminar hasil penelitian Litbang Kementerian Agama tetang Respon Tokoh Agama terkait SKB dan PBM, di Hotel Milenium, Jakarta.
Dalam SKB No 3/2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, pemerintah tidak memberikan sanksi tegas kepada JAI. Inilah sebabnya mereka dengan mempermainkan kesepakatan tersebut.
Kenyataan ini, menurut Farchan, akan memicu konflik karena dianggap tidak fair. “Umat Islam akan beranggapan kita tidak boleh menyerang tetapi JAI sendiri tidak diberikan ketegasan menyebarkan ajaran mereka,” imbuhnya.
Sedangkan, dari hasil penelitian Litbang Kementerian Agama tentang Respon Tokoh Agama terkait SKB dan PBM diperoleh evaluasi dari sosialisasi SKB dan PBM masih kurang maksimal. Dari respon sosialisasi PBM mencapai 50 persen sedangkan untuk SKB mencapai 30 persen. “Banyak problem yang terjadi, sebab lainnya karena belum optimalnya perangkat pemerintahan untuk sosialisasi SKB dan PBM tersebut,” ujarnya.
Dari penelitian tersebut ditemukan beberapa faktor kurang tersosialisasinya SKB dan PBM ini. Hampir seluruh tokoh agama belum memegang modul dan buku kecil kementerian agama. Walau pun begitu, menurut Farchan, para tokoh agama cenderung bersikap positif dan tidak mudah terpancing konflik. “Walau masyarakat sangat mudah tersulut konflik, ini bisa jadi dari luar memancing konflik,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Roni Ruslan mengatakan SKB dan PBM tidak akan efektif karena tidak menyatakan pembekuan atau pelarangan pada Ahmadiyah, hanya melarang penyebarannya.
Ketiadaan sanksi, menurut Sekertaris Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini mengakibatkan SKB dan PBM itu mandul. “Harus ada sanksi yang tegas dari pemerintah, ketika ada pelanggaran, apalah artinya peraturan kalau tidak ada sanksi jika tidak ada peraturan,” tuturnya.
Pemerintah yang masih berpijak pada toleransi yang berdasarkan definisi barat –harus berdiam pada perbedaan- menurut Roni, definisi itu diartikan walau berbeda kita tidak boleh protes. “Padahal persoalan Ahmadiyah bukan persoalan perbedaan bagi umat Islam,” ujarnya.
Persoalan Ahmadyah harus didudukkan sebagai persoalan akidah. Sebab, Ahmadiyah telah melanggar perkara-perkara yang sudah ditetapkan dalam Islam. “Ormas Islam yang selama ini berbeda dalam persoalan fikih tapi untuk persoalan Ahmadiyah semuanya sama,” terangnya.
Bagaimana umat Islam bersikap? Jelas Roni, jika ada orang dewasa meyakini keyakinan Ahmadiyah dia dianggap murtad. Tokoh agama harus berperan mengajak untuk bertobat dan mendidik untuk kembali. Namun, jika dilahirkan sejak kecil Ahmadiyah maka dihukumi non-Muslim, orang kafir. “Tidak boleh dibunuh dan dianiaya,” tuturnya.
“Tapi saya tidak yakin prinsip ini dilakukan pemerintah, sebab pemerintah dan Kemenag bekerja untuk HAM, bukan untuk Islam. Persoalan ini tidak akan selesai hingga pemerintah menjalankan Syariat Islam,” pungkasnya. (mediaumat.com, 20/12)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar