Sabtu, 28 Juli 2012

Sahabat Nabi Muhammad saw Abul Ash bin Rabi al-Absyami al-Quraisyi

Abul Ash bin Rabi al-Absyami al-Quraisyi

Abul Ash bin Rabi al-Absyami al-Quraisyi, seorang pemuda kaya, tampan-rupawan, mempesona setiap orang yang memandang kepadanya. Dia berkecimpung dalam kenikmatan, dengan status sosial yang tinggi sebagai bangsawan. Dia menjadi model bagi ahli-ahli penunggang kuda bangsa Arab dengan segala persoalannya, kesombongan, ciri-ciri kemanusiaan, kesetiaan, dan kebangsaaan warisan nenek moyang atau turunan.
Abul Ash memang mewarisi dari Quraisy bakat dan keterampilan berdagang pada dua musim, yaitu musim dingin dan musim panas. Kendaraannya tidak pernah berhenti pulang dan pergi antara Mekah dan Syam. Kafilahnya mencapai jumlah seratus ekor unta dan dua ratus personel. Masyarakat menyerahkan harta mereka kepadanya untuk diperdagangkan, karena dia telah membuktikan kepintaraannya dalam berdagang, dan dia selalu benar dan dapat dipercaya.
Khadijah binti Khuwailid, istri Muhammad bin Abdullah, adalah bibi Abul Ash bin Rabi. Khadijah menganggap Abul Ash sebagai anak kandungnya sendiri, dan melapangkan tempat baginya di hati dan di rumahnya, suatu tempat yang tidak ada taranya, terhormat dan penuh kasih sayang. Begitu juga kasih sayang Muhammad bin Abdullah kepada Abul Ash, tidak kurang pula dari kasih sayang Khadijah kepadanya.
Tanpa terasa, tahun demi tahun berlalu cepat melewati rumah tangga Muhammad bin Abdullah. Anaknya yang tertua telah menjadi putri remaja, berkembang sebagai bunga ros mengorak kelopak dengan indahnya. Sehingga pemuda-pemuda putra para bangsawan Mekah tergiur hendak memetiknya. Mengapa tidak ..? bukankah Zainab gadis Quraisy keturunan bangsawan murni yang berakar dalam. Sebagai putri dari ibu bapak yang mulia, dia beradab dan berakhlak tinggi. Tetapi, bagaimana mereka akan dapat memetiknya? Di antara mereka telah hadir putra bibi Zainab sendiri, seorang pemuda ganteng dan rupawan, yaitu Abul Ash Ibnu Rabi yang tidak asing lagi.
Belum begitu lama, baru beberapa tahun, berlangsung perkawinan Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash, nur ilahi yang cemerlang memancar di kota Mekah yang diselimuti kesesatan. Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul-Nya dengan agama yang hak. Pada tahapan pertama Allah memerintahkan Nabi Shallallahu alaihi wassalam. supaya mengajak keluarga terdekat. Maka, wanita yang pertama-tama beriman, ialah istrinya, Khadijah binti Khuwailid, dan putri-putrinya: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah, sekalipun ketika itu Fathimah masih kecil, kecuali menantunya, Abul Ash. Dia enggan berpisah dengan agama nenek moyangnya dan enggan pula menganut agama istrinya, Zainab. Meski demikian, Abul Ash tetap mencintai istrinya. Cintanya kepada Zainab tetap tulus dan murni.
Ketika pertentangan antara Rasulullah dengan kaum kafir Quraisy semakin meningkat, mereka saling menyalahkan, “Celaka kalian ..! sesungguhnya kalianlah yang membawa kesusahan. Kalian nikahkan putra-putri kalian dengan putri-putri Muhammad. Seandainya kalian kembalikan putri-putri Muhammad itu kepadanya, kita tidak akan memikirkannya lagi.
Jawab yang lain, “Itu suatu pemikiran yang bagus!” Lalu, mereka pergi menemui Abul Ash!
Kata mereka, “Hai Abul Ash, ceraikan isterimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik.”
Jawab Abul Ash, “Tidak! aku tidak akan menceraikannya. Aku tidak hendak menggantikannya dengan wanita mana pun di seluruh dunia ini.”
Dua orang putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kaltsum telah dicerai oleh suaminya dan diantar kembali ke rumah bapaknya. Rasulullah gembira menerima kedua putrinya itu. Bahkan, beliau ingin kiranya Abul Ash mmelakukan pula hal yang sama terhadap istrinya, Zainab. Tetapi apa boleh buat, beliau tidak kuasa untuk memaksakan keinginannya itu. Di samping itu, ketika itu hukum Islam belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik.
Setalah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah, kaum Quraisy memerangi beliau di Badar. Abul Ash terpaksa ikut berperang di pihak Quraisy, memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Dia memang sungguh-sungguh terpakasa karena tidak ada sedikit pun keinginan berperang dengan Rasulullah dan kaum muslimin. Dan, tidak ada satu kepentingan yang akan diperolehnya dengan memerangi mereka. Hanya, karena ia berdomisili bersama kaum yang memerangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
Perang Badar membawa kekalahan besar yang memalukan bagi kaum Quraisy, sehingga menundukkan puncak kesombongan kemusyrikan, keangkuhan, keganasan, dan kekejaman mereka. Di antaranya ada yang terbunuh, ada yang tertawan, dan ada pula yang melarikan diri. Abul Ash, suami Zainab binti Muhammad, termasuk kelompok orang yang tertawan.
Rasulullah mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka dengan uang tebusan, jika mereka ingin bebas. Beliu menetapkan uang tebusan itu antara seribu sampai dengan empat ribu dirham, sesuai dengan kedudukan dan kekayaan tawanan itu dalam kaumnya. Maka, berdatanganlah para utusan pulang dan pergi antara Mekah dan Madinah membawa uang untuk menebus orang-orang yang tertawan.
Zainab binti Muhammad mengutus utusan ke Madinah dengan uang tebusan untuk menebus suaminya, Abul Ash. Dalam uang tebusan itu terdapat antara lain sebuah kalung milik Zainab, hadiah dari ibunya, Khadijah binti Khuwailid, pada hari perkawinan Zainab dengan Abul Ash. Ketika Rasulullah melihat kalung tersebut, wajah beliau berubah sedih dengan kesedihan yang sangat mendalam, membayangkan rindu kepada anaknya, Zainab, atau mungkin teringat dengan almarhumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.
Rasulullah menoleh kepada para sahabat seraya berkata, “Harta ini dikirim oleh Zainab untuk menebus suaminya, Abul Ash. Jika tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali kepadanya.” Jawab para sahabat, “Baik, ya Rasulullah! Kami setuju!”
Rasulullah membebaskan Abul Ash dengan syarat dia mengantarkan zainab kepada beliau. Maka, setibanya di Mekah, Abul Ash segera berbuat sesuatu untuk memenuhi janjinya kepada Rasulullah. Diperintahkan istrinya agar segera bersiap untuk melakukan perjalan jauh ke Madinah. Para utusan Rasulullah menunggu tidak jauh dari luar kota Mekah. Abul Ash menyiapkan perbekalan dan kendaraan untuk kepergian istrinya. Abul Ash menyuruh adiknya, Amr bin Rabi, mengantar Zainab dan menyerahkannya kepada utusan Rasulullah.
Amr bin Rabi menyandang busur dan membawa sekantong anak panah. Zainab dinaikkannya ke Haudaj. Mereka pergi ke luar kota tengah hari, di hadapan orang banyak kaum Quraisy. Melihat mereka pergi, orang-orang Quraisy bangkit marahnya dan heboh. Lalu, mereka susul keduanya dan mereka dapatkan belum jauh dari kota. Zainab mereka takut-takuti dan mereka ancam. Tetapi, Amr telah siap dengan busur panah dan meletakkan kantong anak panah di hadapannya. Kata Amr, “Siapa mendekat, aku panah batang lehernya.”
Amr menang, terkenal dengan pemanah jitu yang tidak pernah gagal bidikannya. Di tengah-tengah suasana tegang seperti itu, tibalah Abus Sufyan bin Harb yang sengaja dihubungi mereka. Kata Abu Sufyan, “Hai, anak saudaraku! letakkan panahmu! Kami akan bicara denganmu.”
Amr meletakkan panahnya. Kata Abu Sufyan, “Perbuatanmu ini tidak betul, hai Amr. Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badar dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab secara terang-terangan begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah dan tidak berdaya. Alangkah hinanya itu. Karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, jangan dia siang bolong seperti ini. Engkau boleh mengantarkannya ke bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.
Amr setuju dengan saran Abu Sufyan. Dibawanya Zainab kembali ke rumah suaminya di Mekah. Sesudah beberapa hari kemudian Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi pada tengah malam, dan menyerahkannya kepada para utusan bapaknya dari tangan ke tangan, sebagaimana dipesankan abangnya, Abul Ash bin Rabi.
Sesudah berpisah dengan istrinya, Abul Ash tetap tinggal di Mekah beberapa waktu hingga menjelang pembebasan kota Mekah. Dia berdagang ke Syam seperti yang biasa dilakukannya sebelumnya.
Pada suatau hari dalam perjalanan pulang ke Mekah, dia menggiring seratus ekor unta sarat dengan muatan, dan seratus tujuh puluh personel yang menggiring unta tersebut. Di tengah jalan, dekat Madinah, kafilahnya dicegah oleh pasukan patroli Rasulullah. Unta-untanya dirampas dan orang-orang yang menggiringnya ditawan. Tetapi, mujur bagi Abul Ash, dia lolos dari tangkapan dan bersembunyi. Setelah malam tiba dan hari sudah gelap, dia masuk ke kota Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali. Sampai di kota dia mendatangi rumah Zainab, minta bantuan dan perlindungan kepadanya. Zainab melindunginya.
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. keluar hendak salat subuh, beliau berdiri di mihrab, dan takbir ihram. Jamaah pun takbir mengikuti beliau. Zainab berteriak dari shuffah (tempat para wanita). Katanya, “Hai, manusia! saya Zainab binti Muhammad! Abul ‘Ash minta perlindungan kepada saya. Karena itu, saya melindunginya!”
Setelah selesai salat, Rasulullah berkata kepada jamaah, “Adakah tuan-tuan mendengar teriakan Zainab?”
Jawab mereka, “Ada …! Kami mendengarnya, ya Rasulullah!”
Kata Rasulullah, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya! Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab.”
Kemudian Rasulullah pergi ke rumah Zainab. Katanya, “Hormatilah Abul Ash! Tetapi, ketahuilah, engkau tidak halal lagi baginya.”
Lalu, beliau memangil pasukan patroli yang bertugas semalam, dan menangkap unta-unta serta menahan orang-orang dari kafilah Abul Ash. Kata beliau kepada mereka, “Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah famili kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Tetapi, jika kalian enggan menggembalikan, itu adalah hak kalian, karena harta itu adalah rampasan yang diberikan Allah untuk kalian. Kalian berhak mengambilnya.”
Jawab mereka, “Kami kembalikan, ya Rasulullah!” Ketika Abul Ash datang mengambil hartanya, mereka berkata kepadanya, “Hai Abul Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman Rasulullah dan menantu beliau. Alangkah baiknya kalau engkau masuk Islam. Kami akan serahkan harta ini semuanya kepadamu. Engkau akan dapat menikmati harta penduduk Mekah yang engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah.”
Jawab Abul Ash, “Usul kalian sangat jelek dan tidak pantas. Aku harus membayar utang-utangku segera.” Abul Ash berangkat ke Mekah membawa kafilah dan barang-barang dagangannya. Sampai di Mekah dibayarnya seluruh utang-utangnya kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Kemudian dia berkata, “Hai kaum Quraisy! Masih adakah orang yang belum menerim pembayaran dariku?”
Jawab mereka, “Tidak! Semoga engkau dibalasi Tuhan dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.”
Kata Abul Ash, “Sekarang ketahuilah! Aku telah membayar hak kamu masing-masing secukupnya! Maka, kini dengarkan! Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad sesungguhnya Rasulullah! Demi Allah! tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau-kalau kalian menyangka aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini setelah Allah membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.”
Abul Ash keluar dari Mekah, pergi menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Beliau menyambut mulia kedatangannya, dan menyerahkan istrinya Zainab kembali ke pangkuannya.
Rasulullah berkata, “Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar