Senin, 16 Juli 2012

Perbedaan masalah penetapan Ru'yat dan Hisab

Setiap menjelang Ramadhan banyak orang bertanya mengapa kaum Muslim selalu berselisih pendapat soal penentuan awal puasa dan Syawal? Rupanya, ada perbedaan mengenai cara menentukan awal bulan Qomariah di antara para ulama.
Ada yang berpendapat, penentuan awal bulan dilakukan dengan penghitungan (hisab). Ada pula dengan cara melihat munculnya hilal (penampakan bulan yang pertama kali terlihat) secara langsung (ru’yat).
Dalam hal siapa yang pantas melakukan ru’yat pun kaum Muslim juga berbeda pendapat. Sebagian mengatakan harus dilakukan oleh sekumpulan orang, sementara yang lain berpendapat cukup dilakukan oleh seorang Muslim saja, dengan catatan ia harus adil.
Belum lagi perbedaan dalam hal penggunaan mathla’ (tempat melihat bulan). Sebagian menggunakan mathla’ lokal, yang lainnya menggunakan mathla’ matholi (global). Ulama yang menggunakan mathla’ lokal adalah ulama bermazhab Syafi’i, sedang ulama bermazhab Hanafi, Hambali, dan Maliki, menggunakan mathla’ global.
Bicara soal penentuan awal bulan, tak bisa lepas dengan benda-benda langit. Sementara bila mengupas benda-benda langit akan erait kaitannya dengan ilmu astronomi.
Rupanya, penemuan alat-alat astronomi yang canggih tidak lantas membuat persoalan menjadi lebih sederhana. Justru menjadi rumit. Ini salah satu faktor yang membedakan mengapa pada masa Nabi perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan seperti sekarang ini tak muncul.
Untuk lebih jauh mengetahuniya Doktor bidang geomatics engineering dari Technische Universitaet Wien, Austria ini berbicara kepada majalah Hidayatullah yang dikutip inpasonline.com.

Mengapa kita masih sering berbeda pendapat soal penentuan awal Ramadhan atau Syawal?
Karena tidak ada kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan tersebut. Pada zaman kekhalifahan Abbasiah, persoalan seperti ini tidak pernah terjadi. Keputusan kapan dimulainya puasa dan awal Syawal ditentukan oleh khalifah setelah mendapat masukan dari muftih negara. Meski waktu itu kekhalifahan menggunakan mazhab Hanafi, namun mazhab lain boleh menyoroti dan mengkritik, bahkan mengubahnya asal memiliki hujjah yang kuat. Tapi, ketentuan awal puasa dan syawal tetap berada di tangan khalifah. Berdasarkan pendapat yang paling kuat dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bukankah Indonesia sudah ada Badan Hisab dan Ru’yat milik Departemen Agama?
Betul. Ada tiga elemen yang masuk dalam badan ini, yaitu pertama, Departemen Agama yang terdiri dari para hakim agama dari seluruh wilayah Indonesia. Kedua, para ilmuwan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara, Angkatan Laut, dan lain-lain. Ketiga, organisasi massa (ormas) Islam yang jumlahnya paling banyak di antara elemen lainnya.
Tugas badan tersebut hanya meminimalisir adanya friksi-friksi di antara berbagai ormas Islam, tidak menentukan mana yang paling benar. Yang penting jangan ada keributan di antara elemen umat Islam. Ini sudah menjadi doktrinnya.
Lalu, apa yang menyebabkan elemen ormas Islam ini tidak sepakat?
Mereka memiliki metode yang berbeda-beda dalam menentukan awal puasa atau Syawal. Muhammadiyah, misalnya, menggunakan metode hisab mutlak ma’a wujudul hilal dengan ketinggian hilal nol derajat. Sementara Persis memakai metode yang sama namun menggunakan ketinggian 2 derajat. Perbedaan ini saja sudah menimbulkan ketidaksamaan dalam menentukan awal Puasa.
Tahun ini tinggi hilal berada di bawah setengah derajat. Ini berarti Muhammadiyah sudah masuk. Karena itu tahun ini Muhammadiyah Idul Fitrinya pasti satu hari lebih awal dibanding lainnya.
Mengapa persoalan seperti itu tidak pernah terjadi pada jaman Nabi?
Betul. Alasan utamanya karena Rasulullah Saw menjadi figur sentral umat. Kalau Nabi Saw sudah menetapkan waktu puasa dan Syawal, maka kaum Muslimin sami’na wa atha’na (mengikuti).
Selain itu, kehidupan Kaum Muslimin waktu itu sangat sederhana. Mereka biasa hidup di padang pasir yang tidak ada listrik. Sehingga melihat hilal bisa dilakukan dengan cara yang wajar. Tapi sekarang, tidak bisa seperti itu setelah ditemukan peralatan yang canggih.
Satu hal lagi, pada masa itu belum ada alat komunikasi yang canggih seperti sekarang. Karena itu sangat wajar jika ada perbedaan penentuan awal Puasa antara Ibnu Abbas di Madinah dan Mu’awiyah di Syam. Karena mereka tidak saling mengetahui. Ini yang kemudian dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai dasar menentukan mathla’ lokal sesuai dengan fakta yang ada pada waktu itu.
Berarti saat ini memungkinkan dilakukan mathla’ global?
Tidak juga. Seandainya kita sepakat menggunakan mahtla’ global, masih saja ada masalah. Karena secara terminologi, ru’yat secara global juga rumit. Misalkan, dalam menentukan hari yang dipakai untuk meru’yat, juga masih ada masalah. Karena hal ini terkait dengan penentuan tanggal 29 Sya’ban. Sedang tanggal tersebut memakai metode hisab yang dalam hal ini juga berbeda-beda. Faktanya, kalender yang ada sekarang ini memang berbeda.
Belum lagi masalah kreteria orang yang meru’yat. Ada yang mensyaratkan cukup satu orang saja, dan sebaginya. Juga tentang tempat meru’yat, apakah ada kendala atau tidak? Jadi tidak mudah. Semua harus memenuhi kreteria yang sangat rumit agar diakui keilmiahannya.
Mungkin bila dibandingkan ini sama rumitnya dengan ilmu hadits,. Seorang perawi harus memenuhi kreteria yang ditentukan oleh para ulama muhadtisin. Padahal, jaman Nabi Saw, bila ada seseorang mengaku menerima berita dari Nabi maka berita tersebut langsung diterima. Sedang para Imam hadits tidak demikian. Mereka membuat kreteria yang ketat karena khawatir kemasukan hadits palsu.
Idealnya seperti apa agar sebuah ru’yat bisa diterima?
Setidaknya harus memenuhi tiga syarat. Pertama, secara astronomi memang sudah memungkinkan. Di antaranya posisi hilal ketinggiannya sudah mencapai 5 derajat dengan umur 8 jam. Juga sudut elongasinya harus tampak. Ini hasil temuan Pusat Badan Meteoreologi dan Astronomi di Riyadh yang memang khusus mengamati masalah ini.
Kedua, ditentukan oleh kondisi si pengamat dan lokasi pengamatan. Seorang peru’yat bukan orang yang rabun dan harus bisa dipercaya. Ketiga, cuacanya mendukung. Kalau cuaca tidak mendukung maka tidak memungkinkan dilakukan ru’yat.
Poin ketiga ini sering dikritik oleh kawan-kawan dari Muhammadiyah. Menurut mereka, tidak terlihatnya hilal itu kemungkinan bukan karena ia tidak muncul, tapi karena terhalang oleh awan atau lainnya. Karena itu, mereka lebih memilih memakai hisab.
Kelemahan lain ru’yat global seperti apa?
Tidak adanya kesamaan hari. Sebagai contoh, di Indoneisa pada pukul 6 sore sudah melihat ru’yat sehingga diputuskan besok lebaran. Maka patokan ini tidak bisa dipakai di Los Angeles, Amerika Serikat. Karena posisi Indonesia dan Los Angelas dari titik zona waktu sangat berbeda. Indonesia terletak +7 dari titik Greenwich, sedang Los Angeles posisinya –8 dari titik Greenwich. Jadi, di Los Angels masih pukul tiga pagi. Ini juga persoalan. Mengatasi hal ini, maka para fuqaha harus memutuskan apakah kesamaan itu pada hasil ru’yatnya atau pada harinya.
Apakah menurut Anda persoalan penentuan awal Puasa dan Syawal itu akan terus terjadi ihtilaf?
Begitulah. Kecuali jika khalifah Islam sudah tegak. Kekhalifahan Islam, menurut saya, adalah solusinya.
Apakah berarti khalifah akan memaksakan kehendaknya kepada umat?
Tidak. Khalifah hanya menentukan mana hasil ru’yat yang paling kuat dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di antara berbagai hasil ru’yat yang ada. Contohnya, pada zaman kekhalifahan Abbasiah yang banyak memakai pendapat Imam Hanafi, ada temuan yang lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Temuan ini berasal dari ulama mazhab Syafi’i. Khalifah justru memakai pendapat ulama tersebut sebagai ketetapan resmi negara. Masyarakat sendiri tahu dan mengerti bahwa ketetapan khalifah harus ditaati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar