‘Iedul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam. Setelah berpuasa sebulan penuh, siang hari menahan diri dari makan, minum dan syahwat, malam hari menunaikan shalat tarawih berjama’ah, maka tibalah hari yang dinanti, Hari Raya ‘Iedul Fitri. Dari sisi bahasa, ‘Ied, artinya sesuatu yang kembali. Yaitu satu hari yang akan selalu berulang kembali setiap tahun.
Kaum muslimin menyambut hari ini dengan suka cita. Setelah sebulan penuh jiwa dan fisiknya dilatih melalui ibadah puasa, maka sekarang tibalah masa pembuktian. Apakah latihan selama sebulan penuh itu berbuah ataukah tidak? Latihan jiwa yang ditempuh dalam bulan suci ini, diharapkan membekas pada diri; sehingga ketika keluar dari bulan Ramadhan, kita berhak mendapat gelar muttaqin yang seperti diharapkan. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershiyam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS AlBaqarah:183).
Melalui tulisan ini, kami mengajak segenap kaum muslimin agar melewati hari besar yang bahagia ini, yaitu dengan mengamalkan Sunnah Nabi yang berkaitan dengannya. Jangan sampai hari bergembira ria ini menyeret kita ke lembah dosa, seperti: mabuk-mabukan, bercampur-baur antara lelaki dan pria, berjabat tangan antara pria dengan wanita yang bukan mahram, berlebihan-lebihan dalam hal makanan dan minuman, mubadzir dan menghambur-hamburkan harta, dan lain sebagainya. Sehingga hilanglah hikmah ‘Iedul Fitri yang agung ini.
Perlu diingat, selepas bulan Ramadhan, bukan berarti tiba masa balas dendam untuk melampiaskan syahwat, seperti yang dibayangkan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan, dengan tibanya hari ‘Ied ini, seharusnya lebih menguatkan semangat kita dalam melakukan ketaatan kepada Allah .
Berikut ini, kami sampaikan beberapa Sunnah Nabi berkaitan dengan hari yang agung ini.
- Shalat ‘Ied Hukumnya Wajib
Masih banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum ini. Rasulullah n telah memerintahkan wanita haidh dan gadis dalam pingitan untuk keluar menghadirinya. Padahal, untuk shalat-shalat wajib lainnya -seperti shalat Jum’at- beliau mengatakan,Shalat di rumah lebih baik bagi mereka. Bahkan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau mewakilkan kepada seseorang untuk mengimami shalat ‘Ied di masjid bagi yang tidak sanggup datang ke lapangan. Para ulama, dari dahulu sampai sekarang -seperti: Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ash Shan’ani, Asy Syaukani, Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- mengatakan hukumnya wajib ‘ain. [1] Shalat ‘Ied di lapangan merupakan syi’ar kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita meremehkan kewajiban ini.
- Mandi Dan Berhias Diri Sebelum Berangkat Shalat ‘Ied
Salah satu Sunnah Nabi pada hari ‘Ied, yaitu mandi sebelum berangkat menunaikan shalat ‘Ied. Hendaklah memperbaiki penampilan dan mengenakan pakaian yang bagus saat menghadiri shalat ‘Ied. Begitulah yang dilakukan oleh para salaf, seperti Abdullah bin Umar, beliau mandi sebelum berangkat ke lapangan. [2] Begitu pula para tabi’in. Salah seorang tokoh tabi’in, yakni Sa’id bin Al Musayyib berkata, Sunnah ‘Iedul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi.” [3]
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang mandi; apakah harus mandi setiap hari? Beliau menjawab,Tidak harus. Namun, yang harus mandi ialah pada hari Jum’at, hari ‘Arafah, hari ‘Iedul Adha dan ‘Iedul Fitri.” [4]
Ibnu Abdil Barr berkata, Para fuqaha sepakat, bahwa mandi sebelum berangkat shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha adalah baik bagi yang melakukannya. [5]
Hukumnya sunnat, seperti dijelaskan oleh Imam An Nawawi berikut ini,Imam Asy Syafi’i dan rekan-rekannya mengatakan,’Untuk melaksanakan shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha dianjurkan mandi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini’. [6]
Diriwayatkan dalam kitab Shahihain, dari Abdullah bin Umar,Â
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Umar membeli jubah yang terbuat dari sutera yang dijual di pasar. Ia membawanya kepada Rasulullah dan berkata,Wahai Rasulullah, ambillah jubah ini untuk berhias diri pada hari ‘Ied, dan saat menyambut utusan-utusan.” Rasulullah berkata,”Sesungguhnya, ini adalah pakaian orang-orang yang tidak mendapat bagian di akhirat.” [7]
Ibnu Qudamah mengatakan, Hadits ini menunjukkan, bahwa berhias diri pada kesempatan-kesempatan tersebut, yakni pada hari Jum’at, hari ‘Ied dan saat menyambut utusan-utusan, adalah pekara yang sudah mashur di kalangan mereka.” [8]
Dari hadits di atas, juga dapat dipetik faidah, bahwa menghadiri shalat ‘Ied dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang bagus.
Marilah kita meliput yang dilakukan oleh Ibnu Umar pagi hari ‘Ied.
Ibnu Ishaq berkata, aku bertanya kepada Nafi’,Bagaimanakah yang dilakukan oleh Ibnu Umar pada hari ‘Ied? Ia menjawab,Beliau menghadiri shalat Subuh berjama’ah bersama imam. Kemudian, pulang ke rumah. Lalu beliau mandi, sebagaimana mandi junub, lalu mengenakan pakaian yang paling bagus yang dimilikinya, lalu memakai parfum yang beliau miliki. Kemudian keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘Ied. Beliau duduk menunggu imam. Apabila imam telah dating, beliau shalat bersamanya. Kemudian beliau kembali dan mendatangi masjid Nabawi, lalu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau pulang ke rumah. [9]
Maka dari itu wahai saudaraku, jangan lupakan Sunnah Nabi ini. Mandi dan berhias dirilah sebelum mendatangi shalat ‘Ied.
- Makan Sebelum Berangkat Shalat.
Sebelum berangkat ke lapangan untuk shalat pada hari ‘Ied, dianjurkan agar makan terlebih dulu. Dan sebaiknya memakan kurma, seperti diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
Rasulullah n tidak berangkat shalat pada hari ‘Ied, hingga beliau makan beberapa buah kurma. [10]
Disunnahkan memakannya dalam jumlah ganjil, seperti disebutkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah tidak berangkat shalat pada hari ‘Iedul Fitri, hingga beliau makan kurma sebanyak tiga atau lima atau tujuh buah. [11]
Jika tidak ada kurma, dibolehkan makanan yang lainnya, namun diutamakan yang manis-manis, seperti: madu dan sejenisnya. Atau kalau tidak ada makanan sama sekali, maka minum air juga sudah mencukupinya. Demikian dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. [12]
Dalam sebuah atsar yang shahih, dari Abdullah bin Abbas disebutkan, bahwa beliau berkata, Jika kalian sanggup tidak berangkat shalat ‘Iedul Fitri sebelum memakan makanan, maka lakukanlah. [13]
Jangan lewatkan sunnah yang satu ini, wahai saudaraku. Persiapkanlah makanan untuk pagi hari ‘Ied.
- Ajaklah Keluarga Dan Kaum Wanita Untuk Menghadirinya
Rasulullah telah memerintahkan para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Ied. Ummu Athiyyah berkata,
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ
Kami diperintahkan yakni oleh Nabi – agar membawa serta para gadis yang sudah baligh dan gadis-gadis yang berada dalam pingitan pada hari ‘Ied. Sehingga mereka bisa menyaksikan jama’ah kaum muslimin dan do’a mereka. Dan wanita yang sedang haidh menjauhi tempat shalat.
Dalam riwayat lain disebutkan,
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ
Kami diperintahkan agar ikut serta pada hari ‘Ied. Demikian pula para gadis yang berada dalam pingitan. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar, namun hendaknya mereka mengambil tempat di belakang tempat shalat dan ikut bertakbir bersama kaum muslimin.
Dalam riwayat lain disebutkan, ada seorang perempuan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?Rasulullah berkata,Hendaklah saudaranya yang lain meminjamkan jilbab untuknya. [14]
Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah mendatangi tempat shalat, kemudian mengerjakan shalat, lalu menyampaikan khutbah. Kemudian, disertai Bilal, beliau mendatangi kaum wanita untuk memberi nasihat dan peringatan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. [15]
Demikian pula para sahabat. Mereka membawa serta keluarga ke lapangan shalat ‘Ied. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau membawa serta keluarganya yang bisa dibawa ke lapangan shalat ‘Ied. [16]
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah menyebutkan alasannya, Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
Oleh karena itu, bawalah serta keluargamu ke lapangan tempat dilaksanakannya shalat ‘Ied. Hidupkan dan semarakkanlah syi’ar kaum muslimin ini.
- Berjalan Kaki Menuju Lapangan Tempat Shalat
Dianjurkan keluar menuju lapangan shalat ‘Ied dengan berjalan kaki, bila memungkinkan dan tidak memberatkan. Jika memberatkan, maka boleh dengan mengendarai kendaraan. Dalam Mursal Az Zuhri disebutkan, bahwa Rasulullah tidak mengendarai kendaraan saat menuju tempat shalat ‘Ied dan saat mengantar jenazah. [17]
Telah disebutkan atsar dari Sa’id bin Al Musayyib, Sunnah ‘Iedul Fitri ada tiga. (Yaitu:) berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi.”
Abu Bakar Hafsh bin Umar bin Sa’ad berkata, Kami keluar bersama Abdullah bin Umar pada hari ‘Iedul Adha atau ‘Iedul Fitri. Dia keluar berjalan kaki hingga sampai ke tanah lapang tempat pelaksanaan shalat ‘Ied. Dia duduk menunggu imam dating, kemudian shalat bersama imam, kemudian beliau pulang.” [18]
Diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, bahwa beliau berkata,
مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ تَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ
Termasuk sunnah1, yaitu engkau berjalan kaki menuju tempat shalat ‘Ied dan memakan sesuatu sebelum berangkat. [19]
Berjalan kaki menuju lapangan tempat pelaksaan shalat ‘Ied dapat menghidupkan syi’ar hari yang agung ini. Namun patut disesalkan, Sunnah Nabi ini seakan telah dilupakan oleh kaum muslimin. Maka dari itu, marilah kita hidupkan kembali Sunnah Nabi ini.
- Mengumandangkan Takbir
Satu lagi Sunnah Nabi yang ditinggalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan mengangkat suara; mulai dari keluar rumah hingga imam tiba di tempat shalat. Al Faryabi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa beliau mengeraskan suara takbir pada hari raya ‘Iedul Fitri saat berangkat ke tempat shalat, hingga imam keluar dan beliau mengikuti takbirnya. [20]
Imam Syu’bah bertanya kepada Al Hakam dan Hammad,Apakah aku bertakbir saat keluar menuju tempat shalat? Mereka berdua menjawab,Ya. [21]
Kaum wanita juga dianjurkan bertakbir jika aman dari fitnah, tetapi dengan tidak mengeraskannya seperti halnya kaum pria. Dasarnya adalah hadits Ummu Athiyyah sebagaimana telah disebutkan di atas. [22]
Adapun lafazh takbir; telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya ialah takbir Abdullah bin Abbas: Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar wa aJalla, Allahu Akbar walillahil hamd. [23] Atau takbir Salman Al Farisi : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira. [24]
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakhai, ia berkata,Mereka bertakbir pada hari ‘Arafah. Diantara mereka ada yang menghadap kiblat setelah selesai shalat sambil mengucapkan:
الله أَكْبَرُ الله أَكْبَرُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ للهُ لاَ اِلَهَ إِلاَّ للهُ وَ الله أَكْبَرُ الله أَكْبَرُ وَ لِلَّهِ الحَمْدُ
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd. [25]
Artinya, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah. Allah Maha Besar, Maha Besar Allah, segala pujian hanyalah milikNya.
- Berangkat Dengan Melewati Satu Jalan Dan Kembali Lewat Jalan Yang Lain
Ketika kembali dari shalat, disunnahkan mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui ketika berangkat. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Bahwasanya Rasulullah n pada hari ‘Ied mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui sewaktu berangkat. [26]
Para ulama banyak menyebutkan hikmahnya. Diantaranya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II/473. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk menampakkan syi’ar Islam pada hari itu. Ada yang mengatakan, hikmahnya untuk menampakkan syi’ar dzikrullah pada hari itu. Ada yang mengatakan, hikmahnya agar jin dan manusia yang ada di dua jalan tersebut dapat menyaksikannya. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk membangkitkan kedongkolan dalam hati kaum munafikin dan Yahudi, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya.
Setelah menyebutkan hikmah-hikmah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan,Hikmahnya ialah mutaba’atus Sunnah (mengikuti sunnah) Rasulullah.
Syaikhul Islam menyebutkan dalam kitab Majmu’ Fatawa, Bahwasanya dalam melaksanakan manasik dan pada hari ‘Ied, Rasulullah berangkat dari satu jalan dan pulang melalui jalan yang lainnya. [27]
- Memberi Ucapan Selamat
Boleh mengucapkan selamat hari ‘Ied kepada kaum muslimin pada hari yang berbahagia ini. Sebagaimana diriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in , seperti Abu Umamah Al Bahili dan lainnya. Mereka mengucapkan:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
Taqabballahu minna wa minkum.
(Artinya, semoga Allah menerima amalan kita semua).
Imam Malik pernah ditanya, Makruhkah hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat kembali dari shalat ‘Ied “Taqabballahu minna wa minkum” atau “Ghafara lana wa laka” (semoga Allah mengampuni kita semua), lalu saudaranya membalasnya seperti yang diucapkannya?” Beliau menjawab, “Tidak makruh.” Yakni boleh. [28]
Imam Ahmad pernah ditanya: Aku harap tidaklah mengapa mengucapkan selamat. [29]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menganggapnya boleh bagi yang melakukannya dan bagi yang tidak melakukannya. Terdapat contoh dan panutan bagi kedua belah pihak (yaitu yang melakukan dan yang tidak melakukannya).
- Sambutlah Hari ‘Ied Dengan Ketaatan Dan Kesederhanaan
Sambutlah hari yang agung ini dengan ketaatan dan kesederhanaan, tidak mubadzir dan melampaui batas; baik dalam hal makanan, pakaian atau yang lainnya. Allah berfirman,
وَلاَتُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينَ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan, dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS Al Isra’:26-27).
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al An’am:31).
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan itu. Hindarilah perbuatan dosa dan maksiat pada hari yang suci dan agung ini.
Semoga kita termasuk hamba yang bertaqwa dan memperoleh ampunan setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Jangan lupa pula mengerjakan puasa Syawal enam hari, untuk memperoleh kesempurnaan dari amal puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka seolah ia telah berpuasa setahun penuh. [30]
Demikianlah beberapa Sunnah Nabi yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan ini. Semoga kita dapat mengamalkannya.
[Majalah As Sunnah 08/VII-1424H-2003M]
[1] Silakan lihat Majmu’ Fatawa 24/179-183 dan Subulus Salam II/141.
[2] Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’, halaman 143 no. 428.
[3] Diriwayatkan oleh Al Faryabi dalam kitab Ahkamul ‘Iedain no. 18.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Musnad-nya I/118-119.
[5] Al Istidzkar VII/11.
[6] Al Majmu’ I/7.
[7] Hadits riwayat Al Bukhari 948 dan Muslim 2068.
[8] Al Mughni II/228.
[9] Diriwayatkan oleh Al Harits dalam Musnad-nya, sebagaimana disebutkan dalam Bughyatul Bahits I/323, no. 207.
[10] Hadits riwayat Al Bukhaari 953.
[11] Hadits riwayat Ibnu Hibban 2814 dan Al Hakim I/294.
[12] Lihat Fathul Bari II/448.
[13] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf 5734 dan Ibnul Mundzir dalam Al Ausath IV/254.
[14] Hadits-hadits di atas diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari 324 dan Muslim 890.
[15] Hadits riwayat Al Bukhari 977.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5786 dan Ibnul Mundzir dalam Al Ausath IV/262-263 dengan sanad shahih.
[17] Diriwayatkan oleh Al Faryabi dalam Ahkamul ‘Iedain no. 27 dengan sanad hasan sampai kepada Az Zuhri.
[18] Hadits riwayat At Tirmidzi II/418.
[19] Hadits riwayat At Tirmidzi II/410 dan Ibnu Majah 1296.
[20] Ahkamul ‘Iedain no. 53.
[21] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5626 dengan sanad shahih.
[22] Silakan lihat Fathul Bari IX/33.
[23] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5645 dengan sanad shahih.
[24] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubra III/316 dengan sanad shahih.
[25] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5649 dengan sanad shahih.
[26] Hadits riwayat Al Bukhari 986.
[27] Majmu’ Fatawa 26/134.
[28] Al Muntaqa I/322.
[29] Su’alat Abu Dawud halaman 61.
[30] Hadits riwayat Muslim 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar