Zakat yang diwajibkan atas setiap muslim seiring dengan datangnya waktu fithr (berbuka) di akhir bulan Ramadhan, karena itulah zakat ini disebut dengan zakat fithri.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alai mewajibkan zakat fithri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin, beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke (tempat) shalat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini menjelaskan:
1- Hukum zakat fithri, bahwa ia wajib.
2- Kadar yang diwajibkan, yaitu satu sha’.
3- Dengan apa ia ditunaikan, yaitu dengan makanan pokok suatu negeri.
4- Kepada siapa ia diwajibkan, kaum muslimin tanpa kecuali.
5- Waktu pembayaran, yaitu sebelum berangkat shalat Idul Fitri.
Hikmah
Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberi makan bagi orang-orang miskin.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Zakat untuk Orang yang Wajib Dinafkahi
Pada dasarnya zakat fitrah diwajibkan atas setiap pribadi kaum muslimin, yakni setiap muslim harus membayar zakatnya sendiri, sekalipun dia masih anak-anak berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas, namun karena keterbatasan anak-anak, wanita dan hamba sahaya, maka zakat mereka ditanggung oleh pihak yang wajib menafkahi mereka.
Waktu Pembayaran
Waktu wajib, yaitu waktu berbuka, saat matahari terbenam di akhir bulan Ramadhan, maka siapa pun yang mendapatkan waktu ini, dia wajib membayar zakat fithri, seandainya janin lahir di waktu ini, maka orang tuanya menunaikan zakat untuknya, bila sesudahnya, maka zakatnya mustahab, dianjurkan.
Waktu utama, sebelum berangkat shalat, sebagai mana dalam hadits Ibnu Umar di atas.
Waktu jawaz (boleh), diperselisihkan.
Pendapat pertama: Satu atau dua hari sebelum Idul Fitri menurut Malikiyah dan Hanabilah.
Pendapat kedua: Di awal bulan menurut Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah.
Pendapat ketiga: Mutlak, sekalipun sebelum Ramadhan, ini adalah madzhab Hanafiyah.
Dalil pendapat pertama: Ibnu Umar berkata, “Orang-orang membayar zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Mendahulukan zakat satu atau dua hari tidak meniadakan hikmah disyariatkannya zakat fithri, yaitu membuat orang-orang fakir berkecukupan sehingga mereka tidak meminta-minta di hari Idul Fitri.
Dalil pendapat kedua: Sebab zakat fithri adalah puasa dan berbuka, bila salah satu dari keduanya sudah ada, maka boleh membayar zakat fithri, seperti zakat mal setelah memiliki nishab.
Dalil pendapat ketiga: Sebab diwajibkannya zakat ini telah terwujud, yaitu seseorang yang wajib mengeluarkannya, sehingga menyegerakan setelah terwujudnya sebab dibolehkan seperti menyegerakan zakat.
Pendapat pertama adalah pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh mendahulukan zakat fithri sebelum Idul Fitri lebih dari dua hari, karena hal tersebut diriwayatkan dari para sahabat, di samping ia sejalan dengan hikmah disyariatkannya zakat ini.
Zakat Fithri dengan Uang
Pertama: Tidak boleh membayar zakat fithri dengan uang, tetapi dengan bahan makanan, ini adalah pendapat jumhur dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Kedua: boleh membayar zakat fithri dengan uang secara mutlak, ini adalah pendapat Hanafiyah.
Pendapat pertama berdalil kepada hadits Ibnu Umar di atas yang menetapkan bahan makanan sebagai zakat, bukan uang, juga hadits Abu Said al-Khudri, “Kami mengeluarkan zakat fithri satu sha’ kurma atau sha’ gandum atau satu sha’ susu kering atau sha’ kismis.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Pendapat kedua beralasan, hikmah zakat fithri adalah mencukupi hajat orang fakir miskin, dan mencukupi tidak harus dengan bahan makanan, karena uang juga bisa mencukupi.
Pendapat pertama rajih, karena:
1- Zakat fithri dengan makanan ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diamalkan para sahabat, padahal saat itu uang sudah ada, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyinggungnya.
2- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa orang fakir tidak hanya butuh makan, dia juga butuh uang, namun beliau menunjuk bahan makanan.
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan beberapa jenis makanan yang harganya berbeda, hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin makanan itu sendiri, bukan uang. Wallahu a’lam.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alai mewajibkan zakat fithri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin, beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat ke (tempat) shalat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Hadits ini menjelaskan:
1- Hukum zakat fithri, bahwa ia wajib.
2- Kadar yang diwajibkan, yaitu satu sha’.
3- Dengan apa ia ditunaikan, yaitu dengan makanan pokok suatu negeri.
4- Kepada siapa ia diwajibkan, kaum muslimin tanpa kecuali.
5- Waktu pembayaran, yaitu sebelum berangkat shalat Idul Fitri.
Hikmah
Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberi makan bagi orang-orang miskin.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Zakat untuk Orang yang Wajib Dinafkahi
Pada dasarnya zakat fitrah diwajibkan atas setiap pribadi kaum muslimin, yakni setiap muslim harus membayar zakatnya sendiri, sekalipun dia masih anak-anak berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas, namun karena keterbatasan anak-anak, wanita dan hamba sahaya, maka zakat mereka ditanggung oleh pihak yang wajib menafkahi mereka.
Waktu Pembayaran
Waktu wajib, yaitu waktu berbuka, saat matahari terbenam di akhir bulan Ramadhan, maka siapa pun yang mendapatkan waktu ini, dia wajib membayar zakat fithri, seandainya janin lahir di waktu ini, maka orang tuanya menunaikan zakat untuknya, bila sesudahnya, maka zakatnya mustahab, dianjurkan.
Waktu utama, sebelum berangkat shalat, sebagai mana dalam hadits Ibnu Umar di atas.
Waktu jawaz (boleh), diperselisihkan.
Pendapat pertama: Satu atau dua hari sebelum Idul Fitri menurut Malikiyah dan Hanabilah.
Pendapat kedua: Di awal bulan menurut Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah.
Pendapat ketiga: Mutlak, sekalipun sebelum Ramadhan, ini adalah madzhab Hanafiyah.
Dalil pendapat pertama: Ibnu Umar berkata, “Orang-orang membayar zakat fithri satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Mendahulukan zakat satu atau dua hari tidak meniadakan hikmah disyariatkannya zakat fithri, yaitu membuat orang-orang fakir berkecukupan sehingga mereka tidak meminta-minta di hari Idul Fitri.
Dalil pendapat kedua: Sebab zakat fithri adalah puasa dan berbuka, bila salah satu dari keduanya sudah ada, maka boleh membayar zakat fithri, seperti zakat mal setelah memiliki nishab.
Dalil pendapat ketiga: Sebab diwajibkannya zakat ini telah terwujud, yaitu seseorang yang wajib mengeluarkannya, sehingga menyegerakan setelah terwujudnya sebab dibolehkan seperti menyegerakan zakat.
Pendapat pertama adalah pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh mendahulukan zakat fithri sebelum Idul Fitri lebih dari dua hari, karena hal tersebut diriwayatkan dari para sahabat, di samping ia sejalan dengan hikmah disyariatkannya zakat ini.
Zakat Fithri dengan Uang
Pertama: Tidak boleh membayar zakat fithri dengan uang, tetapi dengan bahan makanan, ini adalah pendapat jumhur dari madzhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Kedua: boleh membayar zakat fithri dengan uang secara mutlak, ini adalah pendapat Hanafiyah.
Pendapat pertama berdalil kepada hadits Ibnu Umar di atas yang menetapkan bahan makanan sebagai zakat, bukan uang, juga hadits Abu Said al-Khudri, “Kami mengeluarkan zakat fithri satu sha’ kurma atau sha’ gandum atau satu sha’ susu kering atau sha’ kismis.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Pendapat kedua beralasan, hikmah zakat fithri adalah mencukupi hajat orang fakir miskin, dan mencukupi tidak harus dengan bahan makanan, karena uang juga bisa mencukupi.
Pendapat pertama rajih, karena:
1- Zakat fithri dengan makanan ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan diamalkan para sahabat, padahal saat itu uang sudah ada, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyinggungnya.
2- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa orang fakir tidak hanya butuh makan, dia juga butuh uang, namun beliau menunjuk bahan makanan.
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan beberapa jenis makanan yang harganya berbeda, hal ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin makanan itu sendiri, bukan uang. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar