Abu Dhabi – Banda Aceh: 3012.5 miles, Merauke – Banda Aceh : 3250.5 miles (Tools : http://www.infoplease.com/atlas/calculate-distance.html). Kesimpulan : Banda Aceh lebih dekat ke Abu Dhabi dibandingkan ke Merauke. Lalu dengan alasan apa kita bisa memaksa Merauke untuk ngikut Ru’yat hilal nya Banda Aceh sedangkan Banda Aceh dilarang ngikut ru’yat hilal-nya Dubai ?
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَكَّ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى فِي نَكْتَفِي أَوْ تَكْتَفِي
582- Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Harits mengutusnya kepada Mu'awiyah RA ke negeri Syam. Kuraib berkata, "Maka aku berangkat menuju Syam, akupun telah memenuhi permintaannya. Lalu tibalah bulan Ramadhan, sementara aku masih berada di Syam Aku melihat hilal pada malam Jum'at, kemudian aku tiba di Madinah pada penghujung bulan (Ramadhan). Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku sambil menyebut hilal (bulan sabit) dan berkata, 'Kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab, 'Kami melihatnya pada malam Jumat.' Ia bertanya, 'Apakah kamu melihatnya?' Aku menjawab, 'Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka (orang-orang di Syam) berpuasa dan Mu'awiyah juga berpuasa bersama mereka.' Lalu Ibnu Abbas berkata, 'Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga melengkapi 30 hari atau sampai melihatnya lagi.' Lalu aku bertanya, 'Apakah tidak cukup bagi kamu dengan ru'yah Mu'awiyah beserta puasanya?' Ia menjawab, Tidak, demikianlah Rasulullah memerintahkan kami.'" (Yahya bin Yahya ragu-ragu dalam lafazh hadits, cukup bagi kita atau cukup bagi kamu.) {Muslim 3/126-127}
Terdapat dua hal yang sering dicampuradukkan oleh masyarakat terkait masalah Romadhon yaitu (1) tentang kaidah penetapan awal/akhir Romadhon itu sendiri, dan (2) tentang keharusan memulai/ mengakhiri romadhon dan menyelanggarakan sholat ’Ied Fitri bersama pemerintah. Dan bila kita klafsikasikan, maka setidaknya ada tiga kelompok yang mewajibkan dirinya Sholat ’Ied Fitri puasa bersama pemerintah
Kelompok pertama adalah golongan orang kebanyakan yang melihat dua hal tersebut sebagai hal yang sama saja. Mereka kebanyakan juga tidak terlalu berpusing ria memperhatikan bagaimana kaidah yang benar dalam penetapan awal/akhir Romadhon, yang penting mengikuti apa kata pemerintah benar atau salahnya. Toh kalau salah yang nanggung dosanya juga pemerintah. Golongan seperti ini adalah orang yang sebenarnya menjerumuskan diri dan orang yang diikutinya (pemerintah dll) kedalam kesalahan berjamaah karena keengganannya untuk mencari ilmu dan keengganannya untuk menasehati sesama muslim, termasuk kepada penguasa
Kelompok kedua adalah golongan yang dalam dirinya telah terpatri prasangka buruk kepada sesama umat Islam di luar golongannya bahwa siapapun yang berbeda dengan pemerintah maka mereka adalah penentang penguasa atau bahkan dikatakan sebagai pembelot, pemberontak, dll. Padahal mereka mengetahui bahwa pendapat pendapat dari ulama ulama qodim tentang boleh tidaknya berbeda dengan penguasa dalam hal mengawali/ mengakhiri puasa termasuk juga pelaksanaan Sholat ’Ied.
Sedangkan kelompok ketiga hampir sama prinsipnya dengan kelompok kedua, namun anehnya mereka hanya toleran terhadap perbedaan penetapan awal/akhir puasa golongan lainnya (ABC dll ) namun sangat antipati terhadap perbedaan penetapan awal/akhir puasa dari golongan lainnya (XYZ dll) dengan labelisasi wahabi, arabisme, transnasionalisme dan lain sebagainya.
Biasanya kelompok kedua dan ketiga ini selalu bertentangan (tanaqudh) pendapat dalam segala wabil khusus dalam masalah ibadah. Sepengetahuan kami, bisa jadi hanya dalam permasalahan berpuasa bersama pemerintah inilah mereka memiliki pendapat yang sama. Keduanya pun juga menggunakan hadits Kuraib secara bias untuk menjustifikasi kebenaran pendapat mereka.
Kok bias ? Ya … dan InsyaAllah dalam artikel ini dengan keterbatasan pemahaman saya, akan saya coba uraikan kebiasan tersebut dimana kebanyakan pada akhirnya adalah nukilan saya dari pendapat pendapat mu’tabar yang tersebar di buku buku ataupun di internet dan lain sebagainya.
Kami menujukan risalah ini bagi sahabat sahabat kami yang sedang kebingungan dan terombang ambing dalam masalah penentuan awal/akhir ramadhan apakah harus mengikuti pendapat pemerintah atau tidak. Kebingungan itu sebenarnya tidak perlu terjadi asal setiap orang mengetahui benar bagaimana pendapat itu digali (di-istinbath) lalu qona’ah (menetapi) terhadap kebenaran proses dan hasil istinbath tersebut, terlepas apakah hasil akhirnya sama atau tidak dengan yang diyakini selama ini. Dengan mengetahui pokok pembahasan tersebut pada akhirnya yang diharapkan adalah kesadaran bahwa bahwa bisa memahami kewajaran perbedaan pendapat untuk kemudian sebagai sesama muqolid (pengikut pendapat ulama) ataupun sebagai tholibin (orang yang baru belajar) tidak saling mencela satu sama lain.
“Artinya : Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?
Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.
Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?”
Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”.
Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) “. Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ?
Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”.
Hadits ini telah dikeluarkan oleh: Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa’i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja’far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih Gharib. Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih. 1
Bahwa ternyata Ibnu Abbas RA kemudian tidak menyamakan awal/akhir Ramadhan dengan penduduk Syam setelah persaksian Kuraib, mendorong munculnya berbagai asumsi penyebab perilaku tersebut. Dan asumsi yang paling menonjol terhadap sikap beliau tersebut adalah karena beliau menilai Madinah dan Syam berbeda jarak sehingga harus menggunakan ru’yatul hilal masing masing wilayah. Padahal statement seperti (karena berbeda mathla’) itu sekali lagi adalah penafsiran dari pembaca, bukan ungkapan dari Ibnu Abbas itu sendiri. Dan atas hadits itulah oleh kemudian Imam Syafi’i memunculkan teori ikhtilaf al-Matali’, yakni bahwa rukyat di suatu kawasan, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia. 2
Demikian pula muncul ragam pendapat dalam menafsirkan statement Ibnu Abbas RA : “Hakadza Amarana Rasulullah” (Begitulah Rasulullah menyuruh kami), yakni apakah hadits diatas bisa dimarfu’ kan kepada Rasul ataukah statusnya mauquf pada Ibnu Abbas RA dan merupakan ijtihad beliau semata. Penggolongan ini sangat penting sebab hadits mauquf (atsar sahabat) secara klasifikasi adalah termasuk golongan hadits dhoif dimana kita dilarang berhujah dengan hadits dhoif dalam masalah hukum syara khususnya lagi dalam masalah ibadah. Karenanya, maka kita menjadi wajib mengerti pula ciri ciri perbedaan antara hadits marfu’ dengan hadits mauquf . Hal ini insyaAllah akan kami terangkan pada dua bab berikutnya.
Setelah kita membaca hadits Kuraib, maka berikut kami sampaikan hadits-hadits shiyam lainnya agar selintas pembaca bisa membandingkan hadits Kuraib dengan hadits hadits berikut yang semua diambil dari kitab Bulughul Marom Min Adilatil Hukmi karya Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani 3 :
Hadits ke-511 :
Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa : suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Lafadznya menurut Abu Dawud dan sanadnya shahih.
Hadits ke-673 :
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berpuasalah, dan apabila engkau sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari.” Menurut riwayat Bukhari: “Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari.”
Hadits ke-674 :
Menurut riwayatnya (Muslim) dari hadits Abu Hurairah: “Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari.”
Hadits ke-675 :
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Orang-orang melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang agar berpuasa. Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban.
Hadits ke-676 :
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka berpuasa.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sesang Nasa’i menilainya mursal.
Secara selintas disini kita meilhat bahwa Rasulullah SAW langsung meminta kaum muslimin di Madinah agar berpuasa sejenak setelah beliau kesaksian telah dilihatnya hilal oleh penduduk luar Madinah. Riwayat ini selintas bisa kita lihat bertentangan dengan hadits Kuraib dimana ibnu Abbas tidak langsung mengakhirkan puasa setelah mendapat berita dari luar Madinah yang dibawakan oleh Kuraib.
- Hadits Marfu’ : hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik yang menyandarkannya sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.
- Marfu’ qouli seperti ”Kami mendengar Rasulullah SAW berkata …”
- Marfu’ fi’ly seperti ”Kami melihat Rasulullah SAW begini begitu”
- Marfu’ taqriri seperti ”Rasulullah melihat kami begini begitu dan beliau mendiamkan” dll
- Hadits Mauquf : berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus
Secara status, hadits marfu dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu :
- Marfu’ Hakiki : secara jelas (shahih) sampai pada Rasulullah SAW
- Marfu’ Hukman : tidak jelas sampai pada Rasulullah SAW.
Hadits Marfu’ Hukman sebenarnya adalah hadits mauquf (berhenti pada sahabat), namun memungkinkan untuk disandarkan pada Rasulullah SAW karena sifat-sifatnya. Klasifikasi dan contohnya :
Pertama, obyek yang tidak mungkin sahabat berijtihad didalamnya:
- Seorang shahabat yang berkata – yang tidak diketahui bahwa hal tersebut diambil dari ahli kitab – sebuah perkataan yang tidak terdapat ruang ijtihad di dalamnya, tidak terkait dengan penjelasan bahasa atau penjelasan mengenai keterasingannya; misalnya :
- Khabar mengenai perkara-perkara yang telah lalu seperti awal mula penciptaan
- Khabar mengenai perkara-perkara yang akan datang seperti peperangan (di akhir jaman), fitnah (di akhir jaman), atau hal-hal yang berkaitan dengan hari kiamat.
- Khabar mengenai tetapnya pahala atau dosa/siksa tertentu atas satu amalan, seperti perkataan : ”Barangsiapa yang mengerjakan begini maka baginya balasan begini”.
- Seorang shahabat yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh para shahabat yang setiap raka’atnya lebih dari dua ruku’.
Kedua, Yang memungkinkan mungkin sahabat berijtihad didalamnya atau topik :
- Seorang shahabat yang mengkhabarkan bahwasannya mereka (para shahabat) telah mengatakan atau melakukan satu perbuatan atau memandang tentang satu hal bahwa hal itu tidak mengapa. Maka ini harus dirinci :
- Jika disandarkan pada masa Nabi SAW, maka yang benar hadits tersebut adalah marfu’. Seperti perkataan Jabir : ”Bahwasannya kami melakukan ’azl pada masa Rasulullah shallallaahu SAW”
- Jika tidak disandarkan pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka hadits tersebut tetap hadits mauquf. Seperti perkataan Jabir :”Apabila kami naik (dalam satu perjalanan) maka kami bertakbir, dan apabila kami turun maka bertasbih”
- Seorang shahabat berkata : Umirnaa bikadzaa (kami diperintahkan begini), nuhiina bikadzaa (kami dilarang untuk begini), atau minas-sunnati kadzaa (termasuk sunnah adalah begini). Seperti perkataan sebagian shahabat :
·
- “Bilal diperintahkan agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat”
- Seperti perkataan Ummu ’Athiyyah :”Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi (larangan tersebut) tidak disangatkan terhadap kami”
- Juga seperti perkataan Abu Qilabah dari Anas : ”Termasuk sunnah adalah apabila engkau menikah dengan seorang gadis/perawan dibanding dengan seorang janda adalah tinggal bersama gadis tersebut selama enam hari”
- Seorang rawi mengatakan dalam haditsnya ketika menyebutkan seorang shahabat dengan salah satu dari empat kata berikut : yarfa’uhu, yanmiihi, yablughu bihi, atau riwaayatan. Seperti hadits Al-A’raj dari Abu Hurairah secara riwayat (riwaayatan) : “Kalian akan memerangi satu kaum yang perawakannya kerdil”
- Seorang shahabat menafsirkan sebuah ayat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat (sababun-nuzul). Seperti perkataan Jabir : Orang-orang Yahudi berkata : ”Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakangnya pada farjinya, maka anak yang lahir nanti akan juling matanya”. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat : ” Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam…. [QS. Al-Baqarah : 223].[10]
- Para ulama berselisih pendapat tentang menggunakan hadits mauquf sebagai hujjah. Menurut ulama Syafi’iyah dalam al-jadid, jika perkataan sahabat itu tidak populer di masyarakat maka perkataan itu bukanlah ijma dan tidak pula dijadikan hujjah. Apapun tingkatan atau martabatnya tidaklah diterima sebagai hujjah atau dalil bagi ajaran Islam, sebab yang dapat diterima sebagai hujjah itu hanyalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, tetapi hadits yang disandarkan kepada sahabat. Pada prinsipnya hadits mauquf itu tidak dapat dibuat hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan) marfu. 6 Dan qorinah yang dimaksud adalah apabila ada indikasi bahwa hadits mauquf tersebut adalah tergolong marfu’ hukman
- Hadits mauquf – sebagaimana yang telah diketahui – bisa shahih, hasan, atau dla’if. Akan tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah dengannya ? Jawaban atas hal tersebut adalah bahwasannya asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadits mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadits mauquf yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadits mauquf tersebut dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadits marfu’. 7
Sebagaiana kami sampaikan di bab sebelumnya tentang hadits yang dibawakan sahabat Kuraib, problem penentuan status marfu’ atau mauquf –nya dari hadits disebabkan statement ibnu Abbas “Hakadza Amarana Rasulullah” (Begitulah Rasulullah menyuruh kami). Hadits tersebut bisa menjadi marfu’ hukman andaikan statement dari sahabat ibnu Abbas RA tersebut lengkap dengan obyek atau perkara apa yang sebenarnya diperintahkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana contoh contoh hadits sebelumnya yaitu seperti
- “Kami dilarang untuk mengiringi jenazah” atau
- “Bilal diperintahkan agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat” atau
- “Termasuk sunnah adalah apabila engkau menikah …”
Karenanya statement ibnu Abbas RA tersebut menjadi perselisihan apakah sikap ibnu Abbas RA yang membedakan diri dengan penduduk Syam adalah (1) ijtihad beliau sendiri dalam menyikapi perbedaan tersebut ataukah (2) adalah perintah dari Rasulullah SAW bila peristiwa tersebut terjadi. Dan untuk membuktikan bahwa kewajiban membedakan diri dari tempat lain karena perbedaan mathla maka haruslah ada indikasi bahwa hal tersebut pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Namun justru yang terjadi adalah bahwa Rasulullah justru memerintahkan membatalkan puasa setelah menerima kesaksian seorang badui Arab yang diriwayatkan secara marfu hakiki oleh ibnu Abbas sendiri 8 :
Dari Ibnu ‘Abbas: “Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hal ini bukan berarti menuduh ibnu Abbas berdusta atas nama Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat9 yang menyatakan “Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Allah ! Tidak terbayang sedikitpun juga oleh seorang Ulama bahwa Ibnu Abbas akan berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membohongi ummat !” Tentu ini adalah tuduhan yang ambivalen. Tuduhan semata mata berdasarkan asumsi emosional. Padahal kesimpulan kegamangan status kemarfu’an hadits Kuraib semata mata adalah hasil kategorisasi berdasarkan analisis ilmiah terhadap hadits Kuraib berdasarkan ilmu hadits itu sendiri yang disebabkan akibat ketidaksempurnaan pada statement ibnu Abbas RA itu sendiri.
Bahkan andaikan status hadits tersebut adalah mauquf alias hadits tersebut sebenarnya adalah atsar atau ijtihad sahabat Ibnu Abbas RA, maka setiap muslim sah dan diperbolehkan saja untuk mengikuti (taqlid) terhadap ijtihad Ibnu Abbas tersebut. Alias tidak menutup pintu untuk tetap menggunakan hadits tersebut dalam menentukan pendapat penetapan awal/akhir Ramadhan. Hanya saja bila hadits tersebut ternyata tidak sampai pada tingkat marfu’ maka dalam istimbath hukum hadits tersebut akan dikalahkan dengan hadits yang marfu’ hakiki. Hal ini akan kami terangkan berikutnya.
Dari sisi jumlah perawi, hadits dikategorikan menjadi 10:
- Hadits Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya
- Hadits Ahad, di bawah level mutawatir
- Hadits Masyhur yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir
- Hadits Aziz yaitu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya
- Hadits Gharib yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih.
- Gharib Muthlaq bila kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat)
- Gharib Nisbi bila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya.
Dari segi kesahihan (validitas) hadits, maka hadits mutawatir memiliki tempat tertinggi dan berfaedah dhorury (aksiomatik) alias harus dipercayai haqul yaqin sebagaimana kepercayaan bahwa matahari itu panas, es dingin dan lain lain. Karenanya maka hadits mutawatir tidak perlu lagi ditinjau masing masing perawinya. Adapun hadits ahad maka memberikan faedah nadhory yang masih memerlukan lagi penelitian dan pembuktian kesahihan pada sanad dan matannya agar tercapai derjadat ilmu yaqin, pada berita atau perintah atau larangan yang dibawa oleh hadits tersebut.
Hadits Kuraib adalah termasuk dari hadits gharib muthlaq. Tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali Ibnu Abbas. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas kepada Kuraib. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Kuraib kecuali Muhammad bin Abi Harmalah. Kemudian tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad kecuali Ismail bin Ja’far. Dari Ismail kebawah sanadnya masyhur karena banyak rawi meriwayatkan dari Ismail diantaranya : Alu bin Hujr As-Sa’dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin As-Sa’dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub dan Qutaibah.11
Dalam kitab at-Taqrib, an-Nawawi berkata: “Hadits gharib itu ada dua macam, yaitu sahih dan dha’if Namun umumnya hadits gharib itu dha’if. Dalam syarah bukunya as-Suyuthi berkata: Biasanya kedha’ifan itu ada pada hadits-hadits yang gharib. Ahmad ibn Hanbal berkata: Janganlah kamu menulis hadits-hadits gharib, karena hadits-hadits itu mungkar dan biasanya dha’if. Berkata ‘Abdul Razzaq: Saya kira hadits gharib itu baik, ternyata buruk”!) (Mizan al-I’tidal, jilid IV, hal. 398). 12
Disini kami hanya mengetengahkan bahwa para ulama dahulu sangat berhati hati dalam menyikapi hadits Gharib. Kami tidak mengatakan bahwa setiap hadits pasti gharib tertolak, alias tidak dipakai karena sekalipun sebuah hadits itu gharib, namun selama hadits itu sahih maka layak untuk dipergunakan sebagai hujah dalam masalah hukum syara, apalagi bila hadits itu ada pada Sahih Bukari &/ Sahih Muslim.
Dan telah jelas bahwa hadits Kuraib adalah hadits sahih yang layak dipertimbangkan sebagai dalil bagi hukum syara, tentu dengan catatan bahwa apabila hadits Kuraib adala hadits marfu’ atau setidaknya marfu’ hukman. Yang menjadi bahasan dalam bab ini adalah bahwa kedudukan ataupun ke-nadhory-an hadits gharib yang sahih dalam masalah tarjih masih kalah daripada hadits aziz ataupun hadits masyhur yang sama sama berkualitas sahih juga. Hal ini akan kami sampaikan pada bab pengenalan kaidah tarjih.
Sebelum sampai pada kesimpulan bagaimana merajihkan (mengunggulkan) hadits Kuraib dan hadits lainnya dalam permasalahan penenentuan awal/akhir Romadhon maka kita harus mengetahui bagaimana sebenarnya kaidah tarjih yang pada hakikatnya bukan lagi bagian dari ilmu hadits, namun melainkan adalah bagian dari ilmu uhsul fiqh khususnya dalam metode istinbath (penggalian) hukum. Disinilah pentingnya mengetahui kira kira kita mengikuti madzhab uhsul yang mana, sebab masing masing madzhab memiliki metode yang khusus dalam pentarjihan.
Namun dari berbagai perbedaan madzhabm ada beberapa prinsip yang disepakati bersama diantaranya adalah prinsip ”menggunakan dua dalil bersama sama lebih utama daripada meninggalkan salah satunya. Hal ini sesuai dengan kaidah umum : “al-ashlu fil dalil li i’mal, laa li iHmal” yang artinya hukum asal sebuah dalil adalah untuk diamalkan bukan untuk diabaikan (ditinggalkan). Kaedah tarjih diperlukan untuk meseleksi dalil mana yang harus diunggulkan dalam penggalian (istinbath) hukum bila mana ada dalil dalil yang bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan. Berikut kaidah tarjih secara umum13 :
Dilihat dari tata tertib sumber dalilnya.
- Al-Kitab lebih kuat daripada as-Sunnah, sekalipun Sunnah tersebut Mutawatir.
- Kemudian Sunnah yang mutawatir lebih kuat dari Ijma Sahabat.
- Ijma yang disampaikan dengan metode mutawatir itu lebih kuat daripada khabar Ahad.
- Dan khabar Ahad lebih kuat daripada Qiyas apabila ‘illatnya diambil melalui dilalah (penunjukkan suatu dalil) atau melalui suatu istinbath ataupun qiyas.
- Namun apabila ‘illatnya diambil melalui (cara) sharaahatan (langsung) maka harus beramal sesuai dengan nash yang menunjukkan illat secara sharahatan, kemudian mengambil hukumnya (nash) berdasarkan kekuatan dalil. Jadi jika ada dalam al-Qur’an maka hukum illat tersebut diambil dari al-Qur’an, dan jika ada pada Sunnah maka hukum illat tersebut diambil dari hukum as-Sunnah, dan jika Ijma Sahabat menunjukkan adanya illat maka hukum illat tersebut diambil dari Ijma.
Kaedah Tarjih dalil as-Sunnah ditinjau dari aspek Sanad terdiri dari beberapa hal:
- Hal-hal yang dikembalikan kepada para perawi. Perawi yang langsung meriwayatkan lebih rajih (diunggulkan) daripada perawi yang tidak langsung, karena dia lebih tahu dengan apa yang diriwayatkannya.
- Hal-hal yang dikembalikan kepada riwayat itu sendiri.
- Khabar yang mutawatir lebih rajih atas khabar ahad.
- Khabar musnad (yang dapat disandarkan kpd perawinya/ada sanadnya) lebih rajih atas khabar mursal (yang langsung disandarkan kpd Rasul
- Hal-hal yang dikembalikan kepada waktu periwayatan. Perawi yang meriwayatkan hadits pada usia baligh lebih rajih atas perawi yang meriwayatkan hadits pada usia anak-anak (masih kecil)
- Hal-hal yang dikembalikan kepada metode periwayatan.
- Khabar yang benar-benar memperoleh kesepakatan (muttafaq) pelimpahannya kepada Nabi saw. lebih rajih atas khabar yang mengalami perbedaan pendapat dalam hal keberadaan pelimpahannya (marfu’) kepada Nabi saw.
- Harus dirajihkan khabar yang diriwayatkan dengan lafadz Rasul atas khabar yang diriwayatkan berdasarkan makna (pen : baik itu marfu’ hukman atau mauquf).
- Hal-hal yang dikembalikan kepada waktu datangnya khabar.
- Khabar yang diriwayatkan secara mutlaq tanpa menyebutkan tarikh (waktu) lebih rajih atas khabar yang bertarikh tetapi tarikhnya terdahulu.
- Khabar yang datang menjelang wafatnya Nabi saw. harus dirajihkan atas khabar yang mutlaq.
Kaedah Tarjih dalil as-Sunnah ditinjau dari aspek Matan adalah sebagai berikut:
- Harus dirajihkan larangan daripada perintah.
- Harus dirajihkan yang mubah ketimbang perintah.
- Harus dirajihkan khabar daripada perintah. Khabar bisa terhindar dari nasakh. Sebaliknya perintah bisa mengalami penasakhan (penghapusan).
- Harus dirajihkan mubah daripada larangan
- Harus dirajihkan khabar daripada larangan
- Hal-hal yang dikembalikan kepada lafadz khabar.
- Khabar yang menunjuk kpd haqiqah harus dirajihkan daipada khabar yang lafadznya majaz (makna kiasan).
- Haqiqah syara’ dirajihkan daripada haqiqah lughat wa al-’urfi (bahasa atau adat kebiasaan). Karena Nabi saw. diutus untuk menjelaskan makna-makna syara’.
- Juga khabar yang mengandung illat hukum secara terang-terangan (shurahatan) atau secara penunjukkan dalil (dalalatan) ataupun secara pengistinbathan lebih dirajihkan daripada khabar yang tidak mengandung illat hukum
Akhirnya sebelum membahas tuntas bias hadits Kuraib, maka kita perlu membahas dahulu mengenai mathla’ itu sendiri. Pembahasan ini penting karena dengan justifikasi perbedaan mathla’ inilah maka setiap negeri muslim merasa independent dan tidak terikat pada kesaksian muslim dari negeri lain dalam masalah ru’yatul hilal.
Mathla’ secara bahasa artinya adalah tempat terbit (thulu’) nya hilal pada sebuah wilayah. Munculnya teori ikhtilaf al-Matali’ (perbedaan mathla’) bermula dari ijtihad Imam Syafi’i juga berdasarkan hadits Kuraib tersebut.
Kalaulah memang kita menerima adanya ikhtilaf al-Matali’ (perbedaan mathla’), maka harus kita dudukkan seluas mana ukuran wilayah ikhtilaf al-Matali’ tersebut sebenarnya. Hal ini agar kita berjalan sesuai dengan ijtihad para ulama yang mengusulkan ikhtilaf al-Matali’ tersebut, bukan menyebut nyebut mathla namun bukan pada pengertian yang dulu dikenal oleh para ulama qodim terdahulu. Itu artinya sama saja dengan berdusta atas nama para ulama qodim. Naudzubillah
Ukuran Mathla’ Syar’iy
Ulama (khususnya dari madzhab Syafi’iyah) berkesimpulan bahwa perbedaan mathla’ adalah sejauh 24 farsakh (1½ kali jarak safar) dimana 1 farsakh adalah 3 mil. Jadi ukuran ikhtilaf al-Matali’ yang merupakan hasil ijtihad ulama qodim adalah kira kira 133,05 km (Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu)
Dengan mengikuti ukuran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Makkah – Madinah berbeda mathla’ sebab jarak antar kota tersebut sekitar 600 km. Madinah – Damaskus pun berbeda matlah dimana jarak keduanya sekitar 900 km
Ukuran Mathla’ Bid’ah Ashobiyah
Ukuran mathla ini disebut bi’dah karena tidak pernah dikenal oleh ulama qodim. Ukuran ini muncul disebabkan karena perasaan nasionalisme yang muncul dibenak umat Islam sekarang ini dan menggantikan ukhuwah Islamiyah yang telah ditanamkan dan disemai oleh Rasulullah SAW sejak awal Islam diturunkan.
Ukuran mathla’ ini disebuut Mathla’ Wilayatul Hukmi yang ukurannya tidak lagi sebesar dari mathla’ syar’i (24 farsakh), tapi berubah ukurannya secara relatif mengikuti luas wilayah negara nasional tersebut. Jadi kalau Indonesia berarti sepanjang Sabang Merauke, kalau Singapura ya sebatas pulau itu saja.
Sebagaimana dijelaskan pada bab Kaedah Pentarjihan, pada dasarnya semua dalil sebisa mungkin harus dipergunakan sesuai dengan kaidah umum : “al-ashlu fil dalil li i’mal, laa li iHmal” yang artinya hukum asal sebuah dalil adalah untuk diamalkan bukan untuk diabaikan (ditinggalkan). Sehingga bila ada dua dalil atau lebih yang bertentangan (tanaqudh) maka harus di cari jalan untuk mengkompromikan (jam’u wa taufiq) dalil dalil tersebut seperti mencari peluang bayan (penjelasan) terhadap yang mujmal (global) taqyid (pembatasan) dalil yang mutlaq, atau takhshish (mengkhususkan) dalil yang ‘aam dsb.
Namun bila kemudian kompromi tersebut tidak bisa dicapai sebab pertentangannya memang tidak mungkin dikompromikan, maka harus dipergunakan kaidah tarjih untuk mengunggulkan dalil mana yang paling layak untuk dipergunakan dengan melihat urutan tertib, kekuatan sanad dan kemudian kekuatan matan. Resiko dari pentarjihan adalah menyebabkan dalil lain harus ditinggalkan sebab kalah kuat kedudukannya dibandingkan dalil yang diunggulkan.
Pertama, Dari sisi penisbatan pada Rasulullah SAW
Riwayat Kuraib adalah riawayat yang sahih namun ulama berbeda pendapat apakah hadits tersebut marfu’ atau mauquf. Bila hadits tersebut adalah tergolong mauquf maka scara otomatis kehilangan otoritasnya untuk disebut sebagai sumber dalil. Alias harus ditinggalkan dalam pengertian sebagai dalil. Ditinggalkan dalam hal ini artinya adalah disisihkan dari list dalil dalil terkait masalah penentuan awal/akhir Romadhon. Namun siapapun yang mengikuti pendapat (ijtihad) ibnu Abbas terkait ”perbedaan mathla”, maka hal itu dipersilahkan juga sebab ijtihad sahabat memang boleh diikuti.
Kemudian andaikan hadits Kuraib tersebut bernilai ma’ruf hukman (mauquf yang dinilai marfu’) maka statusnya pun masih kalah dengan hadits yang sifatnya ma’ruf hakiki seperti hadits hadits ” Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ataupun oleh Ibnu Umar
Kedua, Dari sisi Ghorib hadits
Andaikan pula hadits Kuraib adalah hadits marfu’ hukman namun hadits tersebut adalah hadits Ghorib, yang kuantitas periwayatannya kalah dibandingkan dengan hadits yang berbunyi ” Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).” yang setidaknya mencapai derajad Hadits Masyhur karena diriwayatkan oleh banyak sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Adi bin Hatim Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab, Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah
dan lain lain 14. Bahkan jelas menyelisihi makna shorihah di AlQuran ”Barang siapa diantara kalian (ada yang) melihat bulan, maka hendaklah (kalian semua) berpuasa”
Demikian pula hadits Kuraib dari juga kalah kuantitas periwayatannya dibandingkan dengan hadits yang membuktikan bahwa justru Rasulullah SAW memerintahkan berpuasa atau berbuka setelah memerima kesaksian dari orang diluar Madinah (Badui atau Musafir Makkah). Karenanya, maka hadits Kuraib andaikan itu marfu’ hukman maka tetap harus dikalahkan dari hadits hadits yang menentangnya.
Ketiga, Dari sisi asumsi ”perbedaan mathla’”
Kami berikan tanda kutip pada ”perbedaan mathla’” di paragraf sekali lagi karena itu adalah hasil penafsiran ulama terhadap statement ibnu Abbas, bukan perkataan yang secara dzohir keluar dari ibnu Abbas RA sendiri sebab disatu sisi sebagaimana yang telah kami terangkan diatas, Ibnu Abbas RA telah meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah SAW menerima kesaksian Arab Badui dan memerintahkan untuk berpuasa atas kesaksian itu.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat tentang penerimaan Rasulullah SAW terhadap kesaksian musafir Makkah sebagaimana yanag diriwayatkan oleh Imam Ahmad Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).
Padahal jelas Makkah dan Madinah itu berbeda mathla (600km). Meski tidak ada indikasi dimana musafir itu melihat bulan, apakah telah di dekat madinah atau masih jauh dari madinah. Yang jelas musafir itu melihat pada magrib dan sampai di makkah pada sore hari (min 18 dari maghrib) atau bila berjalan dari subuh paling tidak telah berjalan lebih dari 9 jam bila melanjutkan perjalanan setelah subuh. Dan justru disitu kuncinya, bahwa Rasulullah SAW memang tidak pernah menanyakan pembawa berita itu melihat dimana hilal tersebut. Asalkan orang itu muslim dan adil, maka kesaksian ru’yatnya harus diterima dan diamalkan sebagai tanda awal/akhir Romadhon.
Asumsi perbedaan mathla’ mendapat pertentangan keras dari ulama termasuk oleh Syaikh Albani dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq tentang ikhtilaf matholi’ : “… Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 …(Tamamul Minnah, hal. 397) Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22 15
Analisa tentang keadaan ibnu Abbas yang ”terkesan” menolak kesaksian Kuraib juga telah diuraikan dalam Kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Marom karya Syaikh Ash-Shon’ani pada bab Sholat Ied (hadits ke 409), didalam hadits tersebut ibnu Abbas sama sekali tidak mengatakan penetapan puasanya yang berbeda dengan mu’awiyah adalah karena masalah perbedaan mathla’ atau juga karena tidak menerima khabar ahad dari Kuraib. Sama sekali tidak. Imam Shon’any mengatakan hal ini karena Ibnu Abbas semata mata karena lebih yakin bahwa Ramadhan memang benar-benar belum datang.. Dalam kitab yang sama pada penjelasan hadits ke 618 Imam Shon’any menegaskan kembali bahwa wajib tiap masing masing untuk beramal atas dasar keyakinann masing masing, bukan mengikuti dzon (dugaan). 16
Demikian pula Imam AsySyaukani berusaha mengkompromikan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa kemungkinan Ibnu Abbas berkeyakinan bahwa pasti penduduk Syam salah meru’yat hilal pada malam jumat tersebut sebab menurut perhitungannya saat itu baru tanggal 28 sehingga bagaimana mungkin terlihat hilal pada sore itu (malam 29). Lalu kemudian beliau meneruskan puasanya berdasarkan keyakinannya bahwa tidak mungkin hilal terlihat pada malam jumat dan setidaknya baru mungkin terlihat hilal pada malam sabtu. Hal inilah yang dipahami oleh ibnu Abbas dalam memahami ”Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah” 17 Pendapat ini menguatkan bahwa berpuasa harus atas dasar keyakinan, bukan atas dasar keraguan. Wallahu a’lam ..
Diluar masalah lebaran bersama Imam, maka harus dibahas dulu realita ukhuwah mana yang sebenarnya ingin ditegakkan. Apakah ukhuwah islamiyah, ataukan ukhuwah ashobiyah yang sekarang dipermanis kata katanya menjadi ukhuwah wathoniyah (persaudaraan nasionalisme) dan lain sebagainya.
Kenyataannya memang umat Islam saat ini telah terpecah dalam penentuan awal/akhir Ramadhan. Kalau subyeknya adala ukhuwah islamiyah maka harusnya kita menyamai negara negara berpopulasi umat Islam terbesar no 2,3,4 (Pakistan, India, Bangladesh) yang kira kira sejumlah 449 juta (Indonesia 205 juta) yang mana mereka justru hampir selalu berpuasa atau mengakiri puasa 1 hari setelah wilayah Indonesia . Demikian pula kadang Indonesia kadang sama dalam mengawali/ mengakhiri puasa dengan dengan Arab Saudi, Palestina dan lain sebagainya (sumber : moonsighting.com)
Karenanya justru yang kita simpulkan disini, alasan ukhuwah Islamiyah adalah jargon kosong dan pembodohan dengan memanfaatkan sensifitas pentingnya kesatuan Umat Islam sebab realita sebenarnya adalah bahwa yang ditonjolkan sebenarnya adalah ukhuwah wathoniyah bukan ukhuwah Islamiyah.
Justru sebenarnya mereka yang berpatokan pada rukyat global itulah yang memperjuangkan ukhuwah islamiyah sebenarnya. Mereka tidak mempedulikan dimana info ru’yat itu pertama kali terjadi dan siapa yang melihatnya. Selama si peru’yat diterima kesaksiannya berdasarkan pertimbangan kredibilitasnya keadilan dan kemampuannya dalammeru’yat, maka informasi itu akan diterima untuk memulai/ mengakhiri puasa Romadhon serentah bersama umat Islam sedunia yang berpatokan pada ru’yat global. Inilah ukhuwah islam dan kesatuan umat Islam sebenarnya, bukan jargon dan pengkaburan fakta semata.
Telah jelas bahwa mathla’ yang digembar gemborkan itu sebenarnya adalah mathla’ bid’ah yaitu mathla’ ashobiyah nasionalisme, bukan mathla’ sesuai pengertian syar’i yang dipahami oleh para fuqoha dengan jarak 24 farsakh alias sekitar 133,05 km. Marilah kita minta maaf kepada para ulama qodim karena telah lancang mencatut dan menyalahgunakan istilah mathla untuk kepentingan ashobiyah.
Seharusnya bila dengan mempergunakan hitungan mathla’ syar’i (133,05 km) maka termasuk berbeda matha’ pula antara Jakarta – Cirebon (260 km), Surabaya – Madiun (170 km) dan Balikpapan – Bontang (220 km). Artinya, maka bila kita konsisten dengan ukuran mathla’ yang telah ditetapkan oleh para ulama qodim, maka harusnya masing masing tempat tersebut melakukan rukyat hilal masing masing dan tidak perlu mengikuti ataupun bahkan mencari cari kesaksian hilal dari daerah lain yang berlainan mathla tersebut.
Lalu atas dasar apa sekarang penduduk di Biak dipaksa untuk mengikuti ru’yatnya tim ru’yatul hilal di Boscha Bandung bila mereka tidak bisa melihat hilal di tempat mereka ? Mengapa tidak mencukupkan diri dengan tidak berpuasa esoknya dan memulai ru’yatul hilal pada sore harinya lagi ? Apakah dengan alasan hanya berbeda 2 jam saja ? Lalu bagaimana dengan ru’yatnya penduduk timur tengah yang berjarak 4-5 jam dari Jakarta atau bahkan 3-4 jam saja dari Medan bila menggunakan waktu matahari ? Bukankah kesaksian penduduk timur tengah masih bisa membuat warga Medan atau Jakarta sempat untuk berpuasa pada esok harinya juga bersama mereka ? Apalagi dengan menggunakan bantuan teknologi falak yang makin canggih kita bisa memprediksi kapan hilal terjadi untuk kemudian mempersiapkan diri bila ternyata besoknya harus berpuasa atau berbuka ?
Mathla wilayatul hukmi bisa dianggap bid’ah dalam percaturan fikih atau bisa juga tidak dianggap bid’ah, tergantung dari realitasnya. Pada dasarnya wilayatul hukmi itu ada realitasnya selalu ada yakni bahwa memang setiap negara secara de jure dan de fakto memiliki wilayatul hukmi yaitu teritorial tertentu untuk secara berdaulat penuh menjalankan hukumnya di wilayah tersebut.
Hanya saja realita wilayatul hukmi telah berubah dari realita masa lalu. Bila dulu wilayatul hukmi umat Islam hanya ada satu saja yaitu Daulah Islamiyah yang meliputi dari Maroko sampai Merauke, maka sekarang terdapat puluhan wilayatul hukmi yang terkotak kotak berdasarkan national state-nya karena dipecah pecah oleh para imperialis runtuhnya Daulah Khilafah per 3 Maret 1924.
Pada hakekatnya ulama qudama tidak pernah sekalipun menyinggung istilah wilayatul hukmi dalam pembahasan penentuan awal/akhir puasa baikt itu madzhab yang menganut pendapat kesatuan rukyat global (Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali) ataupun rukyat lokal berdasarkan ikhtilaful matholi 24 farsakh (Madzhab Syafi’i). Bagi mereka, selama khobar ru’yat itu berasal dari mana saja baik itu dari mereka yang sama wilayatul hukminya, maka khobar itu harus diterima untuk memulai/mengakhiri Ramadhan.
Justru dari munculnya pemahaman pentingnya wilayatul hukmi bagi kesatuan ru’yat hilal ini, maka kita mendapatkan kasus yang menarik terkait solusi cerdas untuk menyatukan umat Islam. Sebagai contoh kasus adalah adalah penetapan awal Ramadhan dari Muhamadiyah tahun 2007. Waktu itu diperkirakan ijtima’ (konjungsi) terjadi pada tanggal 11 Agustus tepatnya 12.02 WIB. Garis ijtima’ sendiri telah membelah Indonesia menjadi bagian yang terlewati dan belum terlewati garis 0 derajad. Berdasarkan hisab tersebut maka Muhammadiyah lalu menetapkan tanggal 12 Oktober berdasarkan fakta perhitungah tersebut, sementara NU masih menunggu sidang itsbat hasil team ru’yatul hilal yang tersebar di seluruh Indonesia. Berikut ilustrasinya
Dari gambar diatas terlihat seharusnya Kaltim, Sulteng, Sulut, Sulbar, Maluku dan Irian Jaya (termasuk pula Philipine dan Brunei) belum masuk syawal sebab masih dibawah 0 derajad. Melihat kasus ini, ketua Muhamadiyyah mengatakan bahwa demi semangat nasionalisme dan juga demi persatuan serta keutuhan warga Muhamadiyah, maka daerah daerah tersebut mengalah saja dan ikut ketentuan daerah yang sudah lebih dari 0 derajad.
Dari fakta bahwa konsep wilayatul hukmi sangat penting untuk menyatukan umat Islam walau sekarang levelnya adalah nation state, namun pemahaman itu juga semakin membutkikan argumen pentingnya umat Islam berjuang memiliki wilayatul hukmi yang sama yaitu Daulah Khilafah untuk menyatukan semuat umat Islam dalam memulai dan mengakhiri puasa mereka bersama sama dan bersama Imam/Khalifah mereka termasuk untuk mewujudkan ukhuwah islamiyah hakiki dan menghilangkan perselisihan mereka dalam segala hal karena ashobiyah nasionalisme termsuk diantaranya kasus Palestine, Khasmir, Rohingya dan juga Ambalat.
Ini adalah ambiguitas bagi mereka yang selalu menjustifikasi hadits Kuraib untuk melegalkan perkataan bahwa wajibnya berpuasa mengikuti pemerintah setempat dan tidak boleh mengikuti ketetapan dari negara lain yang berbeda mathla’. Karenanya siapapun yang berada pada wilayah RI harus mengikuti keputusan pemerintah RI dalam penetapan awal/akhir Ramadhan, tidak mengikuti negara lainnya (mis : Arab Sudi, Mesir, dll)
Ambiguitasnya adakah terletak pada kenyataan bahwa justru hadits Kuraib menunjukkan bahwa ibnu Abbas RA justru mencotohkan yang tentu saja berarti memperbolehkan orang lain untuk mengawali/mengakhiri Ramadhan meski berpenda dengan pemerintah pusat (dalam hal ini Mu’awiyah di Syam) selama dia haqul yakin terhadap kebenaran pendapatnya, tidak mengikuti dzon semata. Karenanya bila memang pengusung pendapat tersebut istiqomah dengan hadits Kuraib, maka harusnya mereka juga membiarkan tiap provinsi di Indonesia berbeda beda dalam mengawali/mengakiri Romadhon sebab masing masing provinsi itu jelas berbeda mathla’
Mengenai kewajiban mengawali/mengakhiri puasa bersama pemerintah, para ulama berbeda pendapat terkait masalah tersebut. Berikut ringkasan yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah 18:
- Orang itu wajib melaksanakan Shoum dan Hari Raya (yang dia yakini), tetapi dengan cara rahasia dan ini adalah Madzhab Syafi’i.
- Ia melaksanakan shoum, tetapi berhari rayanya harus bersama-sama manusia. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
- Ia melaksanakan shoum dan Hari Raya bersama-sama manusia.
Pendapat ini semakin menambah ambiguitas pendapat mereka yang mengaku bermadzab Syafi’i namun mewajibkan berpuasa bersama pemerintah dan sholat ’Id bersama pemerintah, sebab pada hakekatnya justru madzhab Syafi’i membolehkan kaum muslimin berbeda pendapat dengan pemerintah baik dalam masalah puasa dan juga masalah ’Idul Fitri yang mana pendapat ini justru merupakan adalah konsukuensi logis dari penggunaan hadits Kuraib yang kemudian diistimbath dan melahirkan terma ikhtilaful matholi’, termasuk bila mathla’nya berbeda dengan pemerintah pusat.
Rasulullah SAW sendiri menyampaikan perkataan yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ali RA : ”Tinggalkan yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu”. Dan hadits ini menjadi satu dari 5 kaidah fiqih yang disetujui oleh ulama secara ijma’an.
Memang betul bahwa harusnya umat Islam itu wajib mengawali dan mengakhiri puasa bersama Imam sebagai konsukuensi logis dari pentarjihan bahwa pendapat paling unggul adalah ru’yat setiap suatu negeri berlaku bagi negeri lainnya. Hal ini juga sebagaimana pernyataan para Imam diantaranya :
Imam At-Tirmidzi ketika mengomentari hadits dari shahabat Abu Hurairah RA: “Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban.” (HR.Tirmidzi) , Maka beliau (Imam At-Tirmidzi) kemudian berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan : “Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.” 19
Pendapat pendapat tersebut dinyatakan oleh para Imam ketika Daulah Islam pada waktu itu masih tegak dipimpin oleh seorang Imam/Khalifah, bukan dalam keadaan sedang terpecah belah menjadi puluhan nation state seperti sekarang ini yang masing masing dipimin oleh seseorang yang bergelar Raja, Presiden, Perdana Menteri dll. Ulama terdahulu tidak berpusing ria berpolemik untuk menentukan diskusi apakah harus mengikuti pemerintahan yang bukan Khilafah atau bukan. Tetapi mereka – semoga Allah merahmati mereka – tahu betul bahwa umat Islam harus hidup di Darul Muhajirin atau Darul Islam dan mengangkat satu Khalifah/Imamah saja bagi mereka semua untuk menjalankan fungsi ri’ayatus su’unil umah (pengaturan urusan kemasyarakatan) dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan futuhat.
Rasul juga mewasiati umat Islam agar kepemimpinan atas umat Islam hanya satu saja bahkan mengatakan bila ada dua imam maka bunuhlah salah satunya. Tentunya dzohirnya bukan untuk langsung membunuh orang yang memecah belah, tetapi khabar itu adalah indikasi bagi perintah yang sangat tegas agar umat Islam hanya berada pada satu daulah dan satu pemimpin bagi mereka semua. Terlebih lagi, tahqiqul manath (penilaian objek hukum ) terhadap imam/khalifah tidak bisa dinisbatkan pada semua kepala negara yang ada di dunia ini biarpun itu mengepalai negara yang mayoritasnya umat Islam atau umat Islam menjadi minoritas disana. Sebab telah terbukti dengan gamblang bahwa mereka tidak menjalankan fungsi sebagai khalifah harusnya menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan futuhat sebagaimana fungsi dan definisi khalifah itu sendiri 20.
Secara faktual bila kita tanyakan kepada masing masing kepala negara itu apakah mereka itu khalifah/ imam bagi umat Islam, tentu saja mereka akan menjawab tidak. Paling mereka hanya menjawab kami adalah pemimpin bagi kerajaan atau republik kami. Karenanya, maka klaim kewajiban untuk mengikuti dan mentaati pemerintah nation state pada masa sekarang dengan menisbatkan pada hadits hadits tentang kewajiban menaati imam/khalifah batal dengan sendirinya, dikarenakan tiadanya obyek yang dimaksud. Dalam hal ini bukan berarti kami mengatakan atau bahkan mendorong untuk memberontak pemerintah sekarang sebagaimana tuduhan mereka yang memang dalam hatinya ada prejudice dan tendensi seperti itu. Tidak sama sekali. Kami hanya menyampaikan bahwa secara realita mereka yang disebut Raja atau Presiden itu bukanlah Khalifah sebagaimana yang dimaksud oleh Syar’i.
Dengan demikian, disebabkan ketidak-adaan Imam yang wajib diikuti, maka umat Islam sekarang sah-sah saja untuk menentukan awal/akhir puasa berdasarkan pendapat yang paling kuat, yaitu dengan ru’yatul hilal global. Bahkan tidak cukup itu saja, umat Islam juga wajib bersegera untuk menegakkan Daulah Khilafah dan kemudian mengangkat satu Khalifah bagi umat Islam sedunia, agar ukhuwah islamiyah yang hakiki terwujud dan agar Islam kembali berjaya diatas agama dan ideologi lainnya dan hancurlah kebatilan serta lenyaplah segala fitnah yang sekarang mencengkeram umat Islam akibat terpecah-belah dalam sekat sekat nasionalisme. Wallahu A’lam. Allahu Akbar.
1. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam http://www.almanhaj.or.id/content/1951/slash/0/
2. http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11068
3. Terjemah Bulughul Marom karya AlHafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Pustaka Ulil Albab4.
4. http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-marfu/
5. Taisiru Musthalahil-Hadits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan
6. http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-marfu/
7. Dr. Mahmud Ath-Thahhan , Idem
8. hizbut-tahrir.or.id/2008/08/26/mendudukkan-penetapan-awal-dan-akhir-ramadhan/
9. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, idem
10. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hadits-ahad-dan-hadits-mutawatir.html/
11. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, idem
12. http://media.isnet.org/islam/ss/S32.html
13. http://www.hayatulislam.net/2003/dakwah/berhujjahxdenganxdalilxsyarax.html
14. http://achfan.multiply.com/journal/item/406/Lebaran_4_Kali._Akankah_terulang_kembali
15. http://insancita.wordpress.com/2008/08/19/penentuan-hilal-bulan-ramadhan-dan-syawal/
16. Imam Shon’any - Subulus Salam halaman 277 – cetakan Darul Kutub Ilmiyah, Libanon 2005
17. http://www.geocities.com/hijramooncalendar/hadithofkuraib.htm
18. Majmu'ul Fatawa, juz 25, hal. 108 sumber : http://www.geocities.com/SouthBeach/Lagoon/2222/Dakwah/matla.htm
19. M Shiddiq Al Jawi : Penentuan Idul Adha wajib berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah
20. Ibnu Khaldun, Kitab Muqodimah bab Definisi Imamah/Khilafah
2. http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11068
3. Terjemah Bulughul Marom karya AlHafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Pustaka Ulil Albab4.
4. http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-marfu/
5. Taisiru Musthalahil-Hadits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan
6. http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-marfu/
7. Dr. Mahmud Ath-Thahhan , Idem
8. hizbut-tahrir.or.id/2008/08/26/mendudukkan-penetapan-awal-dan-akhir-ramadhan/
9. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, idem
10. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hadits-ahad-dan-hadits-mutawatir.html/
11. Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, idem
12. http://media.isnet.org/islam/ss/S32.html
13. http://www.hayatulislam.net/2003/dakwah/berhujjahxdenganxdalilxsyarax.html
14. http://achfan.multiply.com/journal/item/406/Lebaran_4_Kali._Akankah_terulang_kembali
15. http://insancita.wordpress.com/2008/08/19/penentuan-hilal-bulan-ramadhan-dan-syawal/
16. Imam Shon’any - Subulus Salam halaman 277 – cetakan Darul Kutub Ilmiyah, Libanon 2005
17. http://www.geocities.com/hijramooncalendar/hadithofkuraib.htm
18. Majmu'ul Fatawa, juz 25, hal. 108 sumber : http://www.geocities.com/SouthBeach/Lagoon/2222/Dakwah/matla.htm
19. M Shiddiq Al Jawi : Penentuan Idul Adha wajib berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah
20. Ibnu Khaldun, Kitab Muqodimah bab Definisi Imamah/Khilafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar