Sabtu, 28 Juli 2012

PINTU-PINTU SURGA

Surga

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Pernahkah kita menginginkan keindahan surga yang disediakan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beruntung ?… Yang belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terbetik dalam hati?…

Dapatkah kita bayangkan tempat tinggal penghuni surga yang dibangun Allah dengan tangan-Nya sendiri berbentuk istana yang bahan bangunannya adalah batu bata emas, dan perak sebening kaca, buah-buahannya lebih lembut dari keju, lebih manis dari madu, sungai-sungai mengalirkan susu, madu, arak yang tidak memabukan, air jernih yang tidak berubah rasanya, keelokan wajah penghuninya bagaikan bulan dimalam purnama, kecantikan bidadarinya tak terbayangkan kejelitaannya, mulusnya, putihnya, kemontokan payudaranya, dipingit didalam kemah, belum pernah tersentuh oleh jin dan manusia, yang selalu tersenyum dan mengucapkan kalimat yang menyenangkan suami mereka, kendaraanya adalah unta dan kuda bersayap yang terbuat dari mutiara, begitu pula tanah dan debunya, makanan dan minumannya adalah hidangan istimewa yang tak terbayangkan kelezatannya, kasur dan permadaninya adalah kasur tebal dan sutra halus, gelas dan piringnya terbuat dari emas dan perak….ah sungguh sebuah janji yang tak pernah diingkari oleh Yang Maha Rahman. Apalagi jika Allah menyingkap tirai-Nya….

Subhanallah dan terlihat wajah-Nya Yang Mulia sebagai nikmat teramat agung bagi hamba-hamba-Nya. Nama nama surga Surga memiliki nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah . Diantaranya: Jannatul Firdaus, yang merupakan tertinggi derajatnya, Ia terletak di bawah Arsy Ar-Rahman. Kemudian Jannatun Na’im (yang penuh kenikamatan), Jannatu Adn, Daarus Salam (negeri yang penuh keselamatan). Jannatul Ma’wa dan Darul Khuldi. Bangunan Surga Bangunannya terbuat dari batu bata emas dan perak adukannya beraroma kesturi yang sangat harum, kerikilnya terbuat dari mutiara lu’lu dan yaquth dan tanahnya terbuat dari za’farn seperti tepung putih yang beraroma kesturi. Diantara bentuk bangunannya adalah kubah-kubah indah yang terbuat dari muatiara, Rasulullah menjanjikan barangsiapa yang shalat sunnah 12 rakaat sehari semalam maka Allah akan membangunkan sebuah rumah untuknya di surga.

Pintu-pintunya Di dalam surga terdapat delapan pintu diantaranya adalah pintu Ar-Rayyan yang diperuntukan bagi orang yang shaum (puasa). Seorang wanita yang rajin shalat 5 waktu dan shaum, lalu meninggal sedang suaminya ridha maka ia akan dipersilakan untuk masuk surga dari pintu manapun yang ia sukai. Pintu-pintu surga akan senantiasa terbuka orang yang shalat akan masuk pintu shalat, yang berjihad akan dipanggil dari pintu jihad, dan yang bersadaqah akan masuk dari pintu shadaqah (HR. Bukahri Muslim) . Luas dan lebar pintu surga seperti jarak pengendara tercepat selama tiga hari, jarak antara satu pintu dengan pintu lainnya seperti Makkah dan Bushra (Mutafaqun Alaih) Derajat Surga Rasulullah S.A.W bersabda,”Sesungguhnya disurga terdapat 100 tingkatan yang disediakan Allah bagi yang berjihad di jalan-Nya. Jarak antara satu tingkat dengan tingkatan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Maka jika kalian minta kepada Allah mintalah Surga Firdaus ” (HR. Bukahri).

Tempat tertinggi di surga adalah Al-Wasilah yang terletak di surga tertinggi. Ia dihuni oleh seseorang yaitu Rasulullah S.A.W. Pohon Taman dan Naungan Surga Di dalamnya terdapat pohon yang apabila seorang pengembara itu berjalan di bawah naungannya selama 100 tahun ia belum keluar dari naungannya, pohon-pohonnya kekal dan buahnya dekat lagi rendah menjuntai, sehingga mudah diambil. Seluruh pohon disurga batanya terbuat dari emas (Shahihul Jami’) Ibnu Abas berkata, “Diantara penghuni surga ada yang rindu kangen dengan hiburan dunia, lalu Allah menutus angin dan menggerak gerakan pohon tersebut, kemudian pohon tersebut memberikan semua hiburan yang pernah ada didunia.

Sungai Sungai di surga Sungai-sungai di surga adalah sesuatu yang pasti, ia terus mengalir dan tidak pernah berhenti, terletak di bawah ghurat (mahligai) istana-istana dan taman-taman penghuni surga. Sungai-sungai tersebut berupa sungai madu, sungai khamer yang tidak memabukkan, sungai susu dan sungai air jernih yang tidak pernah berubah rasanaya. Sungai-sungai surga memancar dari bagian atas surga, kemudian mengalir turun ke bawah menuju ke semua tingkatan surga sebagai tersebut dalam hadist shahih “.. Sesungguhnya Firdaus itulah tempat terbaik dan tertinggi derajatnya. Di atas Firdaus terdapat Arsy Allah dan dari situ mengalir sungai-sungai surga ” (HR. Bukhari).

Mata air surga ada yang bernama Salsabil yang akan diberikan kepada orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (Muqorrobin) sedang para abror (orang-orang yang berbuat baik) maka Allah memberi mereka air yang diberi campuran kafur (air dingin yang aromanya wangi ) dan zanzabil/jahe ( air hangat yang juga beraroma segar) ( Al Insan: 5 dan 17) Mahligai dan Istana Surga Mahligai dan istana surga terbuat dari emas dan mutiara terbaik yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Raulullah S.A.W bersabda “Sesungguhnya orang yang beriman disediakan di surga, istana dari satu mutiara yang berongga. Panjangnya adalah 60 mil. Di dalamnya terdapat pelayan-pelayan”. Buah-buahan dan tanaman di surga Buah-buahan di surga banyak yang serupa dengan buah-buahan di dunia, dilihat dari bentuknya dan namanya, bedanya bahwa di surga buah tersebut tidak layu, busuk, tua atau mengecil dan berkurang sebagaimana buah di dunia. Diantara nama buah yang disebut didalam Al-Qur’anul Karim adalah delima dan anggur (Ar-Rahman: 68)

Ibnu Abbas berkata “Apabila penghuni surga tertarik untuk memetik buah buah surga, maka buah buahan tersebut mendekat kepdanya hingga ia dapat mengambil mana yang ia sukai” Ia juga berkata “Buah-buahan di surga seperti anggur ia lebih lembut dari tepung dan di dalamnya tidak ada biji. Adapun tanaman surga, setelah benihnya disebar, maka tumbuh dalam sekejap dan siap panen saat itu juga (HR. Bukhari). Makanan dan Minuman di Surga Penduduk surga akan dihidangkan makanan dan minuman lezat yang sangat mengundang selera, apapun yang mereka inginkan pasti mereka dapatkan . Rasulullah S.A.W bersabda “Penghuni surga akan makan dan minum enak enak. Mereka tidak mengeluarkan ingus dari hidungnya, tidak buang air besar dan tidak buang air kecil. Makanan mereka berubah menjadi sendawa yang beraroma kesturi” (HR. Muslim).

Hidangan bagi mereka yang pertama kali adalah daging hati ikan paus, kemudian disembelihkan baginya sapi yang makanan sehari harinya adalah rumput surga” (HR. Muslim). Adapun tempat makan dan minum mereka berupa gelas dan piring yang terbuat dari emas dan perak. Allah berfirman “Dan diedarkan kepada mereka bejana bejana dari perak dan piala piala bening laksana kaca. Yaitu kaca kaca yang terbuat dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik baiknya” (Al-Insan: 15-16) Seruan di Surga Di surga akan ada seorang penyeru yang berkata “Sesungguhnya sekarang tibalah saatnya kalian sehat wal’afiat dan tidak menderita sakit selama-lamanya . Sekarang tibalah saatnya kalian hidup dan tidak mati selama lamanya. Sekarang tibalah saat kalian tetap muda dan tidak tua selama lamanya. Sekarang tibalah saatnya bagi kalian bersenang-senang dan tidak sengsara selam lamanya (HR. Muslim) Dalam hadist lain disebutkan “Penghuni surga akan masuk surga dan penghuni neraka akan masuk neraka, kemudian penyeru akan berdiri dianatara mereka dan berkata “Wahai penghuni surga sekarang tidak ada kematian Wahai penghuni neraka sekarang tidak ada lagi kematian. Semuanya kekal abadi di tempatnya masing-masing ” (HR. Bukahri dan Muslim)

Keadaan Para Penghuni Surga Para Penghuni surga, mulus, tampan, dan bercelak, mereka akan senatiasa muda dan pakaiannya tidak pernah lusuh. Golongan pertama yang masuk surga kelihatan seperti bulan purnama. Mereka tidak pernah buang air kecil dan buang air besar. Mereka tidak beringus dan meludah. Sisir mereka terbuat dari emas da bejana mereka terbuat dari misk . Dan perasapannya terbuat dari kemenyan. Para penghuni surga adalah kebanyakan orang miskin dan lemah. Rasulullah adalah orang yang pertama sekali mengetuk pintu surga (HR. Muslim).

Di antara penghuni surga adalah sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W “Maukah aku tunjukan tentang penghuni surga ? Ia adalah orang yang lemah dan merendah diri (tawadhu), jika ia bersumpah atas nama Allah pasti Allah memperkenankan sumpahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang terbanyak dari penghuni surga adalah umat Nabi Muhammad S.A.W . Rasulullah menyebutkan bahwa penghuni surga berjumlah 120 shaf (barisan) dan umat Nabi Muhammad berjumlah 80 shaf dari 120 shaf tadi (2/3 penduduk surga). Yang Pertama kali Masuk surga Yang pertama kali masuk surga adalah Rasulullah S.A.W dan Abu Bakar Ash Shidiq. Kelompok pertama yang akan masuk surga tanpa hisab berjumlah 70.000 orang. Mereka saling bergandengan tangan hingga masuk surga semuanya. Wajah mereka seperti rembulan saat purnama (HR. Bukahri dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang yang tidak mengruqyah, tidak melakukan tathayyur dan hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.

Rasulullah S.A.W bersabda “Adapun 3 orang yang pertama kali masuk surga adalah syahid, seorang hamba yang tidak disibukkan oleh dunia dan taat kepada Rabbnya dan orang fakir yang memiliki tanggungan namun ia menjaga diri dari meminta minta (HR. Ahmad). Orang yang miskin akan masuk surga terlebih dahulu dari orang-orang kaya karena mereka tidak memiliki sesuatu untuk dihisab. Selisih waktu antara keduanya adalah 40 tahun. (HR. Muslim).

Ibnu Qoyyim menyimpulkan bahwa tidak semua penduduk surga yang pertama kali masuk akan lebih tinggi kedudukannya dari yang terakhir boleh jadi yang terakhir kali mendapatkan derajat yang lebih agung, semisal orang kaya yang pandai bersyukur dan bertaqorrub kepada-Nya dengan berbagai kebajikan dan shadaqoh. Ia lebih tinggi dari orang fakir karena sang fakir tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuat oleh orang kaya (Hadiul Arwah, Ibnu Qoyyim) Angin & Bau Surga Bau aroma surga bisa dicium dari jarak 100 tahun Ibnu Qoyyim berkata ‘Aroma surga iitu ada 2 macam, pertama aroma yang bisa ditemui di surga yang bisa dicium oleh arwah dan tiak bisa dicium oleh orang-orang lainnya. Kedua aroma yang bisa diketahui dengan panca indera seperti halnya aroma bunga dan lain sebaginya. Aroma jenis kedua bisa dijangkau seluruh penghuni surga di akhirat kelak, baik dari tempat jauh atau tempat yang dekat. Adapun aroma surga di dunia, maka ia bisa dicium oleh orang-orang yang dikehendaki Allah, seperti para nabi dan Rasul. Aroma yang dicium Anas bin Nadr saat berjihad sebelum ia syahid bisa dikatagorikan pada aroma jenis ini. Wallahu ‘alam.

Bidadari Surga dan Pesona Kecantikannya Bidadari surga adalah mahluk berkelamin wanita yang diciptakan Allah untuk penghuni surga. Al-Qur’an dan Sunnah menggambarkan tentang keindahan dan kesemppurnaan penciptaan mereka. Digambarkan bahwa mereka adalah bidadari yang cantik, jelita, putih bersih dipingit di dalam kemah senantiasa menundukan pandangan, Allah menyebut mereka dengan khoirotun Hisan (bidadadriyang baik dan cantik), mereka perawan, penuh cinta dan sebaya, payudara mereka montok dan kulitnya mulus.

Dalam hadist Bukhori disebutkan kalau sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak. Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga lebih baik dari pada dunia dan isinya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa bidadari surga teresbut diciptakan dari za’faron surga. Maka Ibnu Qoyyim berkomentar “Jika penciptaan manusia yang tergolong mahluk yang paling sempurna diciptakan dari bahan baku berupa tanah, kemudian berubah menjadi sosok yang paling bagus. Maka bagaimana sisik yang diciptakan dari za’faron yang ada di surga ? Pemandanagan Lain di Surga

A. Para Penghuni surga akan dihiasi dengan gelang emas dan mereka memaki pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, mereka duduk sambil bersandar diatas dipan-dipan yang indah (Al Kahfi: 30-31). Kasur suga adalah kasur tebal lagi empuk. Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra (Ar-Rahman:54, 76 dan Al-Ghasyiyah: 13-16)

B. Kemah, ranjang dan sofa surga : Rasululullah S.A.W bersabda ” Seusungguhnya bagi setiap mukmin di surga disiapkan kemah dari suatu mutiara lu’lu yang berongga. Tingginya 60 mil. Di dalamnya terdapat keluarganya dan orang beriman berjalan mengelilingi mereka. Sebagian mereka tidak bisa melihat sebagian yang lain (HR Bukhari dan Muslim). Allah Ta’ala berfirman: Mereka bertelekan di atas diapan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari cantik bermata jeli (Ath-Thur: 20).

C. Pelayan di surga . Yang senantiasa sibuk melayani penghuni surga adalah wildanun mukholladun . Mereka adalah anak orang-orang muslim yang meninggal sewaktu kecil,. Allah Ta’ala berfirman: Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir (Al-Waqi’ah: 17-18)

D. Kendaraan mereka adalah unta dan kuda yang bersayap yang terbuat dari mutiara yaquth. Hubungan Intim di Surga Dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi “Sesungguhnya penduduk surga itu bersenang-senang dalam kesibukan” (Yaasin: 55). Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Al Auza’i dan Muqotil berkata, “Kesibukan mereka adalah memecah keperawanan istri-istrinya” Rasulullah. S.A.W bersabda tentang hubungan jimak para penghuni surga “Di surga seorang mukmin diberi kekuatan sekian banyak menggauli wanita” (HR. Tirmidzi, shahih). Abu Umamah berkata, Rasulullah S.A.W pernah ditanya “Apakah penduduk surga melakukan hubungan suami istri ?”. Beliau S.A.W menjawab “penis yang tidak pernah lemas, syahwat yang tidak pernah padam, dan jimak demi jimak”.

Sai’d bin Jubair berkata “Sesungguhnya nafsu syahwat (pednduduk surga) mengalir dalam tubuhnya selama 70 tahun. Selama waktu itu ia merasakan kenikmatan yang tiada taranya dan tidak terkena kewajiban mandi jinabat . Mereka tidak merasakan loyo atau kekuatannya menurun. Justru hubungan seksual mereka mencapai keniknatan dan kepuasan. Wallahu a’lam. Pasar Surga Rasulullah S.A.W bersabda “Sesungguhnya di surga terdapat pasar yang didatangi penghuni surga setiap hari Jum’at. Angin utara berhembus menerpa wajah dan pakaian mereka hingga membuat mereka semakin tampan dan menarik. Dalam keadaan seperti itu mereka pulang menemui istrinya masing-masing. Istri-istri mereka berkata “Demi Allah, Anda semakin tampan dan ganteng saja”. Mereka menjawab ” kalian juga semakin cantik dan ayu”.

Yang Terakhir kali Masuk Surga Hamba yang terakhir kali masuk surga adalah orang yang melintasi titian, terkadang jalan dan terkdang memrangkak dan terkadang dilalap api hingga hangus. Allah memerintahkannya untuk masuk surga, namun ia melihat seakan surga telah penuh sesak. Allah berkata kepadanya bahwa ia akan diberi kenikmatan sepuluh kali dunia dan isinya hingga ia merasa dipermainkan Allah. Namun Allah berfirman: Itulah derajat penghuni surga yang paling rendah kelasnya (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Ayat – Ayat Tentang Surga [Al Qoshosh (28) :83] Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. [Ar Ra'd (13) :35]

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. [Al Hajj (22) :23] Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. [35:34] Dan mereka berkata:” Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [Ash Shaffat (37) : 43] Di dalam surga – surga yang penuh nikmat, di atas tahta-tahta kebesaran berhadap-hadapan. diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir [Al Zukhruf (43) : 71] Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.

Nas ‘alukal jannah wa na uudzubika min sakhotika wan naar…Wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi wa man tabi’ahu ila yaumiddiin..aamiin

Refrensi : 1. Al Yaum Al Akhir Juz I, II, III Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar (Ensiklopedia Kiamat) 2. At Takhwiif Ninan Naar, Ibnu rajab hambali 3. Tadzkirah, Imam Qurthubi 4. Hadiul Arwah Ila Biladil Afrah Ibnu Qoyyim Al Jaujiah 5. Nihayatul Bidayah Wan Nihayah , Al Hafidz Ibnu Kastir 6. Al Ahwalun Naar, Muhammad Ali Al Kulaib, dll

Ummu Sulaim binti Malhan


Nama lengkapnya adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyah al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena, beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai muncul, orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan petama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya di dalam masyarakat jahiliyah penyembah behala yang beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan petama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik, suaminya, yang barru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”
“Demi Allah, orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.” (Lihat an-Nasa’i VI/144).
Sungguh ungkapan tesebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurrna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cedas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darrinya untuk dipeisti, atau ibu bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.” Kemudian beliau pun dinikahkan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu, Tsabit meiwayatkan hadis darri Anas:
Aku belum penah mendengarr seorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim. sehingga, pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin malik yang menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian hata yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfiman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus… bagus… itulah harta yang menguntungkan… itulah harta yang mnguntungkan…. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada anak kerabatnya dan Bani dari pamanya.”
Allah memuliakan kedua orang suami istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bemain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tesebut untuk meghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji keduanya denga seorang anak yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahya apabila kembali dari pasar, petama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenag sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di temp[at tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan semangat menyambut suaminya dan menjawab seperti biasanya, “Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulim mendekati beliau dan memperssiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan dan minum, sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah karena abeliau tidak membuat risau suaminya dana beliau bioarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata, “Berarti mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambil, maka tabahkanlah hatimua dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengabarkan kepadanya tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, selanjutnya Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berikanlah nama bayi ya Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad berkata, “Aku melihat dia memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka aberdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beiau menjawab, ‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya’. Maka berdirilah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata, ‘Saya, ya Rasulullah’. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak’. Abu Thalhah berkata, ‘ Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk, maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah aberada di tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’. Hal itu dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka turunlah ayat:
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira itu kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dlam Alquran yang senantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu Sulaim juga turut andil dalam berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli jannah.

Ummu Ruman radhiyallahu‘anha


Dia beriman, berbaiat dan berhijrah. Dia berikan kebaikan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam keislamannya, hingga dia beroleh janji, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari, maka lihatlah wanita ini.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdi Syams bin ‘Itab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah Al-Kinaniyah radhiyallahu ‘anha [~Nasab Ummu Ruman dari ayahnya hingga Kinanah banyak diperselisihkan oleh para ahli tarikh, namun mereka bersepakat bahwa dia dari Bani Ghanm bin Malik bin Kinanah.~] adalah istri orang terbaik umat ini setelah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Sebelum datang masa Islam, Ummu Ruman adalah istri ‘Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumatil Khair bin ‘Adiyah bin Murrah Al-Azdi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan pada mereka seorang anak bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah. Selang beberapa waktu, Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana. Sebagaimana kebiasaan kala itu, para pendatang bersekutu dengan para pembesar Makkah yang dapat melindunginya. Begitu pun ‘Abdullah bin Al-Harits. Dia bersekutu dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Namun Ummu Ruman harus bertemu dengan kenyataan, Abdullah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Sepeninggal Abdullah bin Al-Harits, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu datang meminangnya dan membawa Ummu Ruman dalam kehidupan rumah tangganya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi pasangan ini Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Hari terus bergulir, hingga cahaya Islam merekah di kota Makkah. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah orang pertama yang membenarkan risalah. Tak ketinggalan Ummu Ruman menyatakan keimanannya dan turut berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keluarga yang sarat barakah. Ketika putri mereka, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berumur enam tahun, datang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang ‘Aisyah. Jadilah putri Ummu Ruman ini seorang wanita yang penuh kemuliaan sebagai Ummul Mukminin. Namun saat itu, ‘Aisyah masih tetap berada dalam asuhan ayah ibunya, dalam keluarga yang penuh kebaikan, hingga saatnya turun perintah hijrah.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dulu berangkat hijrah, sementara Ummu Ruman beserta keluarga Abu Bakr masih tinggal di Makkah. Barulah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap beberapa saat di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhuma untuk menjemput keluarga beliau, berbekal 500 dirham dan dua ekor unta. Abu Bakr juga mengutus Abdullah bin ‘Uraiqith dengan membawa dua atau tiga ekor unta, dan menulis surat kepada putranya, Abdullah bin Abi Bakr, untuk membawa Ummu Ruman beserta ‘Aisyah dan Asma`. Mereka pun bertolak menuju Madinah bersama-sama. Saat itu, Zaid dan Abu Rafi’ membawa Fathimah, Ummu Kultsum, dan Saudah bintu Zam’ah. Zaid juga menjemput istri dan anaknya, Ummu Aiman dan Usamah bin Zaid.
Setiba di Madinah, keluarga Abu Bakr tinggal beberapa lama di kampung Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Suatu hari, ‘Aisyah yang kala itu berusia sembilan tahun tengah menikmati permainan bersama teman-teman sepermainannya. Tiba-tiba Ummu Ruman datang memanggilnya. ‘Aisyah segera datang tanpa mengetahui apa maksud ibunya memanggilnya. Ummu Ruman menggamit tangan ‘Aisyah yang masih terengah-engah itu ke depan pintu rumah. Diambilnya sedikit air, diusapnya wajah dan kepala putrinya, lalu diajaknya ‘Aisyah masuk. Ternyata di sana telah berkumpul para wanita Anshar. Mereka menyambut ‘Aisyah dengan doa keberkahan. Ummu Ruman menyerahkan ‘Aisyah pada mereka yang dengan segera mendandani ‘Aisyah. Ternyata hari itu adalah hari istimewa, saat bertemunya putri Ummu Ruman dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaminya.
Ummu Ruman tetap mengiringi kehidupan putrinya. Bahkan juga ketika tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah yang mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepulang beliau dari peperangan Bani Al-Mushthaliq. ‘Aisyah yang turut dalam perjalanan itu, semenjak kepulangannya jatuh sakit sampai sebulan lamanya hingga tak mengetahui isu yang beredar menyangkut dirinya. Dia hanya merasa janggal dengan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dingin. Dia tak merasakan sentuhan kelembutan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang biasa beliau lakukan bila ‘Aisyah sedang sakit. Namun akhirnya, sampai pulalah kabar itu ke telinga ‘Aisyah dari Ummu Mishthah. Bertambah parahlah sakit ‘Aisyah.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, ‘Aisyah pun meminta izin untuk tinggal sementara waktu bersama orang tuanya. Dia ingin mencari kepastian tentang berita yang tersebar itu dari mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya.
Di hadapan ibunya, ‘Aisyah bertanya, “Wahai ibu, apa sebenarnya yang sedang dibicarakan orang-orang?” Dengan hati yang tak kalah sedihnya, Ummu Ruman menenangkan ‘Aisyah, “Tenanglah, duhai putriku. Demi Allah, teramat jarang seorang wanita yang cantik di sisi seorang suami yang begitu mencintainya, sementara dia memiliki madu, melainkan dia akan diperbincangkan.”
“Subhanallah!” sahut ‘Aisyah, “Berarti benar orang-orang membicarakan hal itu?” Pecahlah tangis ‘Aisyah malam itu tanpa henti hingga pagi menjelang. Air matanya tak berhenti mengalir. ‘Aisyah masih terus menangis.
Sampai pada akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari atas langit pernyataan tentang kesucian dirinya dari tuduhan dusta yang dihembuskan oleh kaum munafikin dalam ayat 11 sampai 19 Surah An-Nuur.
Ummu Ruman, istri Ash-Shiddiq, ibunda Ash-Shiddiqah ini kembali ke hadapan Rabbnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan meninggalkan banyak kebaikan. Ketika jasadnya telah diturunkan ke dalam kubur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari surga, maka lihatlah Ummu Ruman.” Ummu Ruman bintu ‘Amir, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….

Ummu Waraqah binti Naufal



Namanya adalah Ummu Waraqah binti Abdullah atau dikenal dengan Ummu Waraqah binti Naufal, ia putri dari Abdullah bin al- Haris bin Uwaimar bin Naufal al-Anshariyah, dinisbahkan kepada kakeknya.

Beliau termasuk wanita yang mulia dan yang paling mulia pada zamannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengunjungi beliau beberapa kali dan beliau menjulukinya dengan gelar asy-Syahidah.

Ia adalah seorang wanita yang memiliki ghirah (semangat) tinggi terhadap Islam dan bercita-cita untuk mati syahid di jalan Allah dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Oleh karena itu, beliau tidak terhalang untuk berjihad bersama kaum muslimin dan mendapatkan pahala mujahidin. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam hendak berangkat Perang Badar, Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku berangkat bersama anda, sehingga aku dapat mengobati orang-orang yang terluka di antara kalian, merawat orang yang sakit di antara kalian, dan agar Allah mengaruniai diriku syahadah (mati syahid).” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Sesungguhnya Allah akan mengaruniai dirimu syahadah, tapi tinggallah kamu di rumahmu, karena sesungguhnya engkau adalah syahidah (orang yang akan mati syahid).”
Beliau turut mengumpulkan Alquran al-Karim, dan beliau adalah seorang wanita yang ahli dalam membaca Alquran. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan beliau agar menjadi imam bagi para wanita di daerahnya. Dan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menyiapkan seorang muadzin bagi beliau.
Disebutkan dalam al-Musnad dan as-Sunan dari hadis Abdurrahman bin Khalad dari Ummu Waraqah mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunjungi beliau di rumahnya, kemudian memberikan seorang muadzin untuknya. Abdurrahman berkata, “Aku melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua.”
Jadilah rumah Ummu Waraqah ra, rumah Allah yang di sana, ditegakkan salat lima waktu. Alangkah terhormatnya seorang wanita yang menduduki posisi sebagaimana seorang wanita mukminah seperti Ummu Waraqah.
Ummu Waraqah senantiasa istiqamah dengan keadaannya, yaitu menjaga syari’at-syari’at Allah hingga pada suatu ketika budak dan jariyahnya -yang telah dijanjikan oleh beliau akan dimerdekakan setelah beliau wafat- membunuh beliau. Tatkala pagi Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah, aku tidak mendengar suara bacaan Alquran dari bibiku semalam.” Kemudian beliau memasuki rumahnya, namun tidak melihat suatu apa pun, kemudian beliau memasuki kamarnya, ternyata beliau telah terbungkus dengan kain di samping rumah (yakni telah wafat). Umar berkata, “Alangkah benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika bersabda, ‘Marilah pergi bersama kami untuk mengunjungi wanita yang syahid’.”Selanjutnya, Umar naik mimbar dan menyampaikan berita tersebut lantas berkata, “Hadapkanlah dua budak tersebut kepadaku.
Maka, datanglah dua orang budak tersebut dan beliau menanyai keduanya dan mereka mengakui bahwa mereka berdua telah membunuhnya, maka beliau perintahkan agar kedua orang budak tersebut disalib, dan mereka berdualah orang yang pertama kali disalib dalam sejarah Islam.

Ummu Ma’bad (wafat..H)


Perjalanan hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disertai sahabat beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berlangsung diam-diam, menghindari kejaran Quraisy. Perjalanan yang tak ringan. Di tengah payahnya perjalanan Makkah-Madinah, mereka singgah di sebuah tenda, tempat tinggal sepasang suami istri yang selalu memberikan jamuan kepada orang-orang yang singgah di sana. Peristiwa yang menakjubkan pun terjadi dalam kehidupan seorang wanita bernama Ummu Ma’bad.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, Atikah bintu Khalid bin Khalif bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Dia menikah dengan sepupunya, Tamim bin ‘Abdil ‘Uzza bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Mereka dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Ma’bad. Dengan nama inilah mereka berkunyah.
Mereka berdua tinggal di Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Namun mungkin mereka tak pernah menyangka, tempat tinggal mereka akan menjadi tempat yang masyhur dengan singgahnya utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala di sana.
Ummu Ma’bad adalah seorang wanita yang tekun dan ulet. Dia biasa duduk di serambi tendanya, memberi makanan dan minuman kepada siapa pun yang melewati tendanya.
Sementara itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu hendak melanjutkan perjalanan kembali setelah bersembunyi selama tiga hari dalam gua. Budak Abu Bakr, ‘Amr bin Fuhairah menyertai mereka. Juga seorang penunjuk jalan, Abdullah bin ‘Uraiqith Al-Laitsi yang datang pada hari yang ditentukan membawa dua tunggangan milik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr. Senin dini hari mereka berangkat.
Selasa, mereka sampai di Qudaid. Berempat mereka singgah di tenda Ummu Ma’bad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr meminta daging dan kurma yang dia miliki. Mereka hendak membelinya.
“Kalau kami memiliki sesuatu, tentu kalian tidak akan kesulitan mendapat jamuan,” kata Ummu Ma’bad. Saat itu adalah masa paceklik, kambing-kambing pun tidak beranak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seekor kambing betina di samping tenda. “Mengapa kambing ini?” tanya beliau. “Dia tertinggal dari kambing-kambing yang lain karena lemah,” jawab Ummu Ma’bad. “Apa dia masih mengeluarkan susu?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Bahkan dia lebih payah dari itu!” ujar Ummu Ma’bad.
“Apakah engkau izinkan bila kuperah susunya?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Boleh, demi ayah dan ibuku,” jawab Ummu Ma’bad. “Bila kau lihat dia masih bisa diperah susunya, perahlah!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kantong susu kambing betina itu sambil menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berdoa. Seketika itu juga, kantong susu kambing betina itu menggembung dan membesar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bejana pada Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu dalam bejana hingga penuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bejana itu pada Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Setelah itu beliau memberikannya kepada yang lainnya hingga mereka pun kenyang. Barulah beliau minum susu itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerah susu kambing itu lagi hingga memenuhi bejana. Beliau tinggalkan bejana yang penuh berisi susu itu untuk Ummu Ma’bad, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad datang sambil menggiring kambing-kambing yang kurus dan lemah. Ketika melihat bejana berisi susu, dia bertanya keheranan, “Dari mana susu ini? Padahal kambing-kambing kita tidak beranak dan di rumah tak ada kambing yang bisa diperah!”
“Demi Allah,” kata Ummu Ma’bad. “Tadi ada seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara ucapannya, begini dan begini ….”
“Demi Allah,” sahut Abu Ma’bad, “Aku yakin, dialah salah seorang Quraisy yang sedang mereka cari-cari! Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya, wahai Ummu Ma’bad!”
Ummu Ma’bad pun melukiskan sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilihatnya, “Dia sungguh elok. Wajahnya berseri-seri. Bagus perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya, tampan rupawan. Bola matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak serak-serak, dan lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan bercelak. Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya hitam legam. Bila diam, dia tampak berwibawa, bila berbicara, dia tampak ramah. Amat bagus dan elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang dari dekat. Manis tutur katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan, ucapannya bak untaian marjan. Perawakannya sedang, tidak dipandang remeh karena pendek, tak pula enggan mata memandangnya karena terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan antara dua dahan, dia yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki teman-teman yang mengelilinginya. Bila dia berbicara, mereka mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka dengan segera melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka masam dan tak bertele-tele ucapannya.”
Mendengar penuturan itu, Abu Ma’bad berkata yakin, “Demi Allah, dia pasti orang Quraisy yang sedang mereka cari-cari. Aku bertekad untuk menemaninya, dan sungguh aku akan melakukannya jika kudapatkan jalan untuk itu!”
Hari yang penuh kebaikan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada hari itu, Ummu Ma’bad masuk Islam [~Ahli sejarah yang lain mengatakan, Ummu Ma’bad datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah peristiwa itu untuk menyatakan keislamannya dan berbai’at. Wallahu a’lam~]. Dikisahkan, kambing Ummu Ma’bad yang diusap oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjang umurnya. Kambing itu tetap hidup sampai masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tahun 12 H dan selalu mengeluarkan air susunya saat diperah, pagi maupun sore hari.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….

Ummu Umarah (Nusaibah binti Kaab) wafat 13 H.


Nama lengkapnya adalah Nusaibah binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul al-Anshaiyah. Ia adalah seorang wanita dari Bani Mazin an-Najar.
Beliau wanita yang bersegera masul Islam, salah seorang dari dua wanita yang bersama para utusan Anshar yang datang ke Mekah untuk melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping memiliki sisi keuatmaan dan kebaikan, ia juga suka berjihad, pemberani, ksatia, dan tidak takut mati di jalan Allah.
Nusaibah ikut pegi berperang dalam Perang Uhud besama suaminya (Ghaziyah bin Amru) dan bersama kedua anaknya dari suami yang prtama (Zaid bin Ashim bin Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan Hubaib. Di siang harri beliau membeikan minuman kepada yang terluka, namun tatkala kaum muslimin porang-poranda beliau segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang (untuk menjaga keselamatan Rasulullah) dan menyerang musuh dengan anak panah. Beliau beperang dengan dahsyat. Beliau menggunakan ikat pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak tiga belas tempat. Yang paling parah adalah luka pada pundaknya yang tekena senjara dai musuh Allah yang bernama Ibnu Qami’ah yang akhirnya luka tersebut diobati selama satu tahun penuh hingga sembuh.
Nusaimah sempat mengganggap ringan lukanyayang berbahaya ketika penyeu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru agar kaum muslimin menuju Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan bajunya, akan tetapi tidak mampu untuk menghentikan cucuran daahnya.
Ummu Umarah menutukan kejadian Perang Uhud demikian kisahnya, “Aku melihat orang-oang sudah menjauhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga tinggal sekelompok kecil yang tidak sampai bilangan sepuluh orang. Saya, kedua anakku, dan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya, sementara orang-orang koca-kacir. Beliau melihatku tidak memiliki perisai, dan beliau melihat pula ada seorang laki-laki yang mundu sambil membawa perisai. Beliau besabda, ‘Beikanlah peisaimu kepada yang sedang berperang!’ Lantas ia melempakannya, kemudian saya mengambil dan saya pegunakan untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu yang menyerang kami adalah pasukan bekuda, seandainya mereka berrjalan kaki sebagaimana kami, maka dengan mudah dapat kami kalahkan insya Allah. Maka tatkala ada seorang laki-laki yang berkuda mendekat kemudian memukulku dan aku tangkis dengan pisaiku sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa degan pedangnya dan akhirnya dia hendak mundu, maka aku pukul urat kaki kudanya hingga jatuh teguling. Kemudian ketika itu Nabi berseu, ‘Wahai putra Ummu imarah, bantulah ibumu… bantulah ibumu….’ Selanjutnya putraku membantuku untuk mengalahkan musuh hingga aku berhasil membunuhnya.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah bin Zaid bekata, “Aku teluka. Pada saat itu dengan luka yang parah dan darah tidak berhenti mengalir, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Sementara ketika itu Ummu Imarh sedang menghadapi musuh, tatkala mendenga seuan Nabi, ibu menghampiriku dengan membawa pembalut dari ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah lukaku sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, ketika itu ibu bekata kepadaku, ‘Bangkitlah besamaku dan tejanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa yang engkau pebuat ini wahai Ummu Imarah?’
Kemudian datanglah orang yang tadi melukaiku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah yang memukul anamu whai Ummu Imarah!” Ummu Imarah becerita, “Kemudian aku datangi orang tersebut kemudian aku pukul betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum karena apa yang telah diperbuat olehnya hingga kelihata gigi geraham beliau, beliau bersabda, “Engkau telah menghukumnya wahai Ummu Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah juga ikut pada dalam bai’atur ridwan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Hudaibiyah, dengan demikian beliau ikut serta dalam Perang Hunain.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ada bebeapa kabilah yang mutad dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab, selanjutnya khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang murtad tesebut. Maka, bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan meminta ijin kepada beliau untuk begabung bersama pasukan yang akan memerangi orang-orang yang mutad dai Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya, “Sungguh aku telah mengakui pranmu di dalam perang Islam, maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka, beliau berangkat bersama putranya yang bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim.
Di dalam perang ini, Ummu Imarah mendapatkan ujian yang berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai macam siksaan agarr mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi, bagi putra Ummu imarah yang telah tebiasa dididik untuk besabar tatkala beperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam. Tejadilah dialog antaraya dengan Musailamah:
Musailamah: Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?
Hubaib: Ya
Musailamah: Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?
Hubaib: Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu.
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya yang lain, yaitu Abdullah. Beliau bertekad untuk dapat membunuh Musailamah dengan tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yang telah membunuh Hubaib, akan tetapi takdir Allah menghendaki lain, yaitu bahwa yang mampu membunuh adalah putra beliau yang satunya, yaitu Abdullah. Ia membalas Musailamah yang telah membunuh saudara kandungnya.
Tatkala membunuh Musailamah, Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi bin Harb, tatkala ummu imarah mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzab, maka beliau bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sungguh, kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan beliau. Abu Bakar ash-Shidiq penah mendatangi beliau untuk menanyakan kondisinya dan menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu atas penghomatannya, dan seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga mengetahui haknya pula. Beliau sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta emas.

Ummu Hakim binti al-Harits


Nama lengkapnya adalah Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam bin Mughirah al-Makhzumiyah. Beliau adalah putri dari saudaranya Abu Jahal Amru bin Hisyam yang menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya. Adapun ibu beliau bernama Fathimah binti al-Walid.

Sesungguhnya Ummu Hakim diberi nikmat berupa akal yang cemerlang dan hikmah yang fasih. Ayahanda beliau yakni al-Haris menikahkan beliau pada masa jahiliyah dengan putra pamannya yaitu Ikrimah bin Abu Jahal yang mana dia adalah salah seorang dari orang-orang yang telah diumumkan Rasulullah untuk dibunuh. Ketika kaum muslimin mendapat kemenangan dan kota Mekah telah dibuka, Ikrimah bin Abu Jahal melarikan diri ke Yaman, karena dia mendengar ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya.
Manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, masuk Islamlah al-Haris bin Hisyam dan juga putrinya yaitu Ummu Hakim dan baguslah keislamannya. Ummu Hakim termasuk wanita yang berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia merasakan manisnya iman yang telah memenuhi kalbunya, sehingga kemudian ia ingin agar orang yang paling dia cintai dan paling dekat dengannya yaitu suaminya, Ikrimah bin Abu Jahal, merasakan manisnya iman sebagaimana yang beliau rasakan.




Kebijakan dan kejernihan akalnya telah menuntun beliau untuk menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk meminta keamanan bagi suaminya bila dia masuk Islam. Alangkah girangnya hati beliau mendengar jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sang pemilik jiwa yang besar yang mau memaafkan dan menjamin keamanan jiwanya.

Selanjutnya, Ummu Hakim segera bertolak untuk mengejar suaminya yang melarikan diri dengan harapan beliau dapat menemukannya sebelum kapal berlayar. Beliau menempuh jalan yang sulit dan membawa perbekalan yang minim namun tidak berputus asa, beliau tidak merasa lemah karena tujuan yang agung telah meringankan penderitaan yang banyak dan banyak lagi. Takdir Allah menghendaki agar beliau dapat bertemu dengan suaminya di sebuah pantai yang tatkala itu kapal nyaris hendak berlayar. Selanjutnya, Ummu Hakim berteriak kepada suaminya, “Wahai putra pamanku?. aku datang kepada kamu karena utusan manusia yang paling suka perdamaian, manusia yang paling berbakti, sebaik-baik manusia, maka janganlah engkau membinasakan dirimu, aku telah meminta jaminan keamanan bagimu!” Ikrimah berkata: “Apakah engkau benar-benar telah melakukannya?” “Benar” jawab Ummu Hakim. Kemudian, beliau menceritakan kepada suaminya tentang akidah yang telah memenuhi kalbunya dan telah beliau rasakan manisnya dan bahwa beliau belum masuk Islam kecuali setelah beliau mengetahui bahwa ternyata Islam adalah agama yang sempurna dan bahwa Islam itu tinggi, tiada yang lebih tinggi darinya. Beliau ceritakan pula tentang pribadi Rasul yang mulia dan bagaimana pula beliau memasuki Mekah dengan menghancurkan berhala-berhala di dalamnya, serta pemberian maaf beliau kepada manusia dengan jiwa yang besar, dan jiwa beliau terbuka bagi setiap manusia untuk memaafkan.

Inilah kemenangan bagi Ummu Hakim ra yang telah menabur benih yang baik pada jiwa suaminya hingga selanjutnya beliau kembali bersama suaminya untuk menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Ikrimah mengumumkan keislamannya di hadapan Rasulullah, dan beliau memulai lembaran barunya dengan Islam yang hampir saja dia terdampar dalam kegelapan Jahiliyah dan paganisme. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membuka kedua tangannya untuk menyambut kembalinya seorang pemuda secara total yang hendak menunjukkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasulnya.

Selanjutnya, Ikrimah ra senantiasa meneguk dari sumber akidah Islamiyah hingga memancarlah pada jiwanya keimanan yang tulus dan kecintaan yang murni serta mendorong beliau terjun ke dalam kancah peperangan, sedangkan di belakangnya adalah pengikutnya yang masing-masing mampu memanggul senjata.

Di dalam kancah pertempuran beliau membai’at kepada sahabat-sahabatnya untuk mati di jalan Allah Azza wa Jalla, dia tulus untuk mencari syahid sehingga Allah mengabulkannya, beliau berhasil meraih indahnya syahid di jalan Allah. Akan tetapi, Ummu Hakim sebagai wanita mukminah sedikit pun tidak bersedih hati, beliau tetap sabar meskipun saudara, ayah, dan bahkan suaminya telah syahid di medan perang. Sebab, bagaimana mungkin beliau bersedih hati padahal beliau berangan-angan agar dirinya dapat meraih syahid sebagaimana yang telah berhasil mereka raih? Dan syahid adalah angan-angan dan cita-cita tertinggi seorang mukmin yang shadiq.

Setelah berselang beberapa lama dari kesyahidan suaminya, yakni Ikrimah ra, beliau dilamar oleh seorang panglima kaum muslimin dari Umawiyah yang bernama Khalid bin Sa’id ra. Tatkala terjadi perang Marajush, Shufur Khalid hendak mengumpuli beliau, namun Ummu Hakim menjawab, “Seandainya saja engkau menundanya hingga Allah menghancurkan pasukan musuh.” Khalid berkata: “Sesungguhnya saya merasa bahwa saya akan terbunuh.” Ummu Hakim berkata: “Jika demikian, silahkan.” Maka Khalid melakukan malam pengantin dengan Ummu Hakim di atas jembatan yang pada kemudian hari dikenal dengan jembatan Ummu Hakim.
Pada pagi harinya mereka mengadakan walimah untuk pengantin. Belum lagi mereka selesai makan. Pasukan Romawi menyerang mereka, hingga sang pengantin laki-laki yang juga sebagai panglima perang terjun ke jantung pertempuran. Ia berperang hingga syahid. Maka Ummu Hakim mengencangkan baju yang beliau kenakan kemudian berdiri untuk memukul pasukan Romawi dengan tiang kemah yang dijadikan walimatul urs dan bahkan beliau mampu membunuh tujuh orang di antara musuh-musuh Allah.

Alangkah indahnya malam pertamanya dan alangkah indahnya waktu paginya. Begitulah, para wanita mukminah mujahidah dan yang bersabar merayakan malam pertamanya di medan perang kemudian pagi harinya berjihad dan berperang.
Hal ini tidaklah mengherankan karena ternyata Ummu Hakim adalah putri dari saudara wanitanya “saifullah al-maslul” (pedang Allah yang terhunus), seorang panglima yang pemberani yaitu Khalid bin Walid.

Ummu Haram (Malikah binti Milhan bin Khalid Al-Anshariah) wafat 28 H.


Nama lengkapnya adalah Ummu Haram binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghannam bin Adi bin Nazar al-Anshariyah an-Najjariyyah al-Madaniyyah. Ia seorang  sahabat wanita yang selalu ikut berangkat bersama pejuang muslim dan sempat mengikuti beberapa kali pertempuran. Beliau sempat ikut dalam penaklukan Siprus bersama suaminya tetapi ia terjatuh dari tunggangannya sehingga dia mati syahid di tempat itu.
Beliau adalah saudari Ummu Sulaiman, bibi dari Anas bin Malik pembantu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Beliau adalah istri dari sahabat yang agung yang bernama Ubadah bin ash-Shamit. Kedua saudaranya adalah Sulaim dan Haram; keduanya ikut di dalam perang Badar dan Uhud dan kedua-duanya syahid pada perang Bi’ir Ma’unah. Adapun Haram adalah seorang pejuang yang tatkala ditikam dari belakang beliau mengatakan, “Aku telah berjaya demi Rabb Ka’bah”.
Ummu Haram termasuk wanita yang terhormat, beliau masuk Islam, berbai’at kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan ikut berhijrah. Beliau meriwayatkan hadis Anas bin Malik meriwayatkan dari beliau dan ada juga yang lain yang meriwayatkan dari beliau.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memuliakan beliau dan pernah mengunjungi beliau di rumahnya dan istirahat sejenak di rumahnya. Beliau dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam baik apabila dihubungkan dengan sepersusuan ataupun dikaitkan dengan nasab, sehingga menjadi halal menyendiri keduanya.
Anas bin Malik berkata; “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah kami, yang mana tidak ada yang didalam melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau bersabda: “Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian”. Maka beliau shalat bersama kami pada saat bukan waktu shalat wajib.
Ummu Haram berangan-angan untuk dapat menyertai peperangan bersama mujahidin yang menaiki kapal untuk menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya Allah mengabulkan angan-angannya dan mewujudkan cita-citanya. Tatkala dinikahi oleh sahabat agung yang bernama Ubadah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad bersama dan Ummu Haram mendapatkan syahid disana dalam perang Qubrus (Syprus).
Anas berkata: “Adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam apabila pergi ke Quba’ beliau mampir kerumah Ummu Haram binti Malhan, kemidian Ummu Haram menyediakan makanan bagi beliau. Adapun suami Ummu Haram adalah Ubadah bin Shamit. Pada suatu hari Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mampir kerumah beliau, Ummu Harampun menyediakan untuk beliau, makanan kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyandarkan kepalanya dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tertidur. Tidak beberapa lama kemudian beliau bangun lalu beliau tertawa. Ummu Haram bertanya, “Apa yang membuat anda tertawa ya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam?” Beliau bersabda: “Sekelompok manusia dari kelompok-Ku, mereka berperang di jalan Allah dan berlayar di lautan sebagaiman raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya”.
Ummu Haram berkata: “Wahai Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam do`akanlah agar aku termasuk golongan mereka”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendo`akan Ummu Haram lalu meletakkan kepalanya dan melanjutkan tidurnya. Sebentar kemudian beliau terbangun dan tertawa.
Ummu Haram bertanya, “Wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam apa yang membuat anda tertawa?”.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sekelompok manusia dari umatku akan diperlihatkan kepadaku tatkala berperang di jalan Allah Ta’ala laksana raja bagi pasukannya”.
Ummu Haram berkata : “Wahai Rasululllah! do`akanlah agar saya termasuk golongan mereka”.
Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Engkau termasuk golongan para pemula”.
Anas bin Malik berkata: Ummu Haram keluar bersama suaminya yang bernama Ubadah bin Shamit. Tatkala telah melewati laut, beliau naik seekor hewan kemudian hewan tersebut melemparkan beliau hingga wafat. Peristiwa tersebut terjadi pada perang Qubrus (Syprus), sehingga beliau dikubur disana. Ketika itu pemimpin pasukan adalah Mu`awiyah bin Abi Sufyan pada masa khalifah Utsman bin Affan, semoga Allah merahmati mereka seluruhnya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriyah.
Begitulah, Ummu Haram adalah termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dia pegang, yang mana beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan ‘aqidah tauhid yang murni. Beliau tidak mengharapkan setelah itu melainkan ridha Allah `Azza wa jalla.

Ummu Syuraik al-Qurasyiah

Ummu Syuraik al-Qurasyiah

Namanya adalah Ghaziyah binti Jabir bin Hakim. Beliau seorang wanita dari Quraisy, wanita dari Bani Amir bin Lu’ai dan ia pernah menjadi istri Abu al-Akr ad-Dausi. Beliau merasa simpati hatinya dengan Islam sejak masih di Mekah, hingga menjadi mantaplah iman di hatinya dan beliau memahami kewajiban dirinya terhadap din yang lurus sehingga beliau mempersembahkan hidupnya untuk menyebarkan dakwah tauhid, meninggikan kalimat Allah dan mengibarkan panji laa ilaha illallahu muhammadur rasulullahi.

Mulailah Ummu Syuraik bergerak untuk berdakwah dan mengajak wanita-wanita Quraisy secara sembunyi-sembunyi. Beliau berdakwah kepada mereka, memberikan dorongan-dorongan agar mereka masuk Islam tanpa kenal lelah dan jemu. Beliau menyadari resiko yang akan menimpa dirinya, baik pengorbanan maupun penderitaan, serta resiko yang telah menghadangnya, berupa gangguan dan siksaan terhadap jiwa dan harta. Akan tetapi, iman bukanlah sekedar kalimat yang diucapkan oleh lisan, melainkan iman pada hakikatnya memiliki konsekuensi dan amanah yang mengandung beban dan iman berarti jihad yang membutuhkan kesabaran.

Takdir Allah menghendaki setelah masa berlalu beberapa lama, mulailah hari-hari ujian, hari-hari menghadapi cobaan yang mana aktivitas Ummu Syuraik ra telah diketahui penduduk Mekah. Akhirnya, mereka menangkap beliau dan berkata, “Kalaulah bukan karena kaum kamu, kami akan tangani sendiri. Akan tetapi, kami akan menyerahkan kamu kepada mereka.”

Ummu Syuraik berkata, “Maka datanglah keluarga Abu al-Akr (yakni kelurga suaminya) kepadaku kemudian berkata, ‘Jangan-jangan engkau telah masuk kepada agamanya (Muhammad)?’ Beliau berkata, ‘Demi Allah, aku telah masuk agama Muhammad’. Mereka berkata, ‘Demi Allah, aku akan menyiksamu dengan siksaan yang berat’. Kemudian, mereka membawaku dari rumah kami, kami berada di Dzul Khalashah (terletak di Shan’a’), mereka ingin membawaku ke sebuah tempat dengan mengendarai seekor onta lemah, yakni kendaraan mereka yang paling jelek dan kasar. Mereka memberiku makan dan madu, akan tetapi tidak memberikan setetes air pun kepadaku. Hingga manakala tengah hari dan matahari telah terasa panas, mereka menurunkan aku dan memukuliku, kemudian mereka meninggalkanku di tengah teriknya matahari hingga hampir-hampir hilang akalku, pendengaranku dan penglihatanku. Mereka melakukan hal itu selama tiga hari. Tatkala hari ketiga, mereka berkata kepadaku, ‘Tinggalkanlah agama yang telah kau pegang!’ Ummu Syuraik berkata, ‘Aku sudah tidak lagi dapat mendengar perkataan mereka, kecuali satu kata demi satu kata dan akau hanya mmeberikan isyarat dengan telunjukku ke langit sebagai isyarat tauhid’.”

Ummu Syuraik melanjutkan, “Demi Allah, tatkala aku dalam keadaan seperti itu, ketika sudah berat aku rasakan, tiba-tiba aku mendapatkan dinginnya ember yang berisi air di atas dadaku (beliau dalam keadaan berbaring), maka aku segera mengambilnya dan meminumnya sekali teguk. Kemudian, ember tersebut terangkat dan aku melihat ternyata ember tersebut menggantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu mengambilnya. Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang kedua kalinya, maka aku minum darinya kemudian terangkat lagi. Aku melihat ember tersebut berada antara langit dan bumi. Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang ketiga kalinya, maka aku minum darinya hingga aku kenyang dan aku guyurkan ke kepala, wajah dan bajuku. Kemudian, mereka keluar dan melihatku seraya berkata, ‘Dari mana engkau dapatkan air itu wahai musuh Allah’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya musuh Allah adalah selain diriku yang menyimpang dari agama-Nya. Adapun pertanyaan kalian dari mana air itu, maka itu adalah dari sisi Allah yang dianugerahkan kepadaku’. Mereka bersegera menengok ember mereka dan mereka dapatkan ember tersebut masih tertutup rapat belum terbuka. Lalu, mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa Rabbmu adalah Rabb kami dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rizki kepadamu di tempat ini setelah kami menyiksamu adalah Dia Yang Mensyari’atkan Islam’.” Akhirnya, masuklah mereka semuanya ke dalam agama Islam dan semuanya berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan mereka mengetahui keutamaanku atas mereka dan apa yang telah dilakukan Allah terhadapku.

Semoga Allah merahmati Ummu Syuraik, yang telah mengukir sebaik-baik contoh dalam berdakwah ke jalan Allah, dalam hal keteguhan dalam memperjuangkan iman dan akidahnya dan dalam bersabar di saat menghadapi cobaan serta berpegang kepada tali Allah…. Marabahaya tidak menjadikan beliau kendor ataupun lemah yang mengakibatkan beliau bergeser walaupun sedikit untuk menyelamatkan jiwanya dari kematian dan kebinasaan. Akan tetapi, hasil dari ketegaran beliau, Allah memuliakan beliau dan menjadikan indah pandangan matanya dengan masuknya kaumnya ke dalam agama Islam. Inilah target dari apa yang dicita-citakan oleh seorang muslim dalam berjihad.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya, “Sungguh, seandainya Allah memberikan hidayah kepada satu orang karena dakwahmu, maka itu lebih baik dari onta yang merah (harta kekayaan yang paling berharga).”

Ummu Hani’ bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu ‘anha


Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.
Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu ‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”
Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”
Ummu Hani` radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya…. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ummu Fadhl (Lubabah binti al-Haris)


Nama lengkapnya adalah Lubabah binti al-Haris bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah. Beliau adalah Lubabah al-Kubra, dikenal dengan kuniyahnya yakni Ummu Fadhl. Ummu Fadhl adalah salah satu dari empat wanita yang dinyatakan keimanannya oleh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam. Keempat wanita tersebut adalah Maimunah, Ummu Fadhl, Asma’ dan Salma.
Adapun Maimunah adalah Ummul Mukminin Rodhiallahu ‘anha saudara kandung dari Ummu Fadhl. Sedangkan Asma’ dan Salma adalah kedua saudari dari jalan ayahnya sebab keduanya adalah putri dari ‘Umais.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha adalah istri dari Abbas, paman Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, dan ibu dari enam orang yang mulia, pandai dan belum ada seorang wanita pun yang melahirkan laki-laki semisal mereka. Mereka adalah Fadhl, Abdullah al-Faqih, Ubaidullah al-Faqih, Ma’bad, Qatsam dan Abdurrahman.
Tentang Ummu Fadhl ini Abdullah bin Yazid berkata:
Tiada seorangpun yang melahirkan orang-­orang yang terkemuka
seperti yang aku lihat sebagaimana enam putra Ummu Fadhl
Putra dari dua orang tua yang mulia
Pamannya Nabiyul Musthafa yang mulia
Penutup para Rasul dan sebaik-baik rasul

Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha masuk Islam sebelum hijrah, beliau adalah wanita pertama yang masuk Islam setelah Khadijah (Ummul Mukminin Rodhiallahu ‘anha) sebagaimana yang ditutur­kan oleh putra beliau Abdullah bin Abbas Rodhiallahu ‘anhu, “Aku dan Ibuku adalah termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak.”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha termasuk wanita yang berkedudukan tinggi dan mulia di kalangan para wanita. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam terkadang mengunjungi beliau dan terkadang tidur siang di rumahnya.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha adalah seorang wanita yang pemberani dan beriman, yang memerangi Abu Lahab si musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Ikrimah berkata, “Abu Rafi’ budak Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Aku pernah menjadi budak Abbas, ketika Islam datang maka Abbas masuk Islam disusul oleh Ummu Fadhl, namun Abbas masih disegani terhadap kaumnya.”
Abu Lahab tidak dapat menyertai perang Badar dan mewakilkannya kepada Ash bin Hisyam bin Mughirah, begitulah kebiasaan mereka manakala tidak mengikuti suatu peperangan maka ia mewakilkan kepada orang lain.
Tatkala datang kabar tentang musibah yang menimpa orang-orang Quraisy pada perang Badar yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dan merendahkan Abu Lahab, maka sebaliknya kami merasakan adanya kekuatan dan ‘izzah pada diri kami. Aku adalah seorang laki-laki yang lemah, aku bekerja membuat gelas yang aku pahat di bebatuan sekitar zam-zam, demi Allah suatu ketika aku duduk sedangkan di dekatku ada Ummu fadhl yang sedang duduk, sebelumnya kami berjalan, namun tidak ada kebaikan yang sampai kepada kami, tiba-tiba datanglah Abu Lahab dengan berlari kemudian duduk, tatkala dia duduk tiba-tiba orang-­orang berkata, “Ini dia Abu Sufyan bin Harits telah datang dari Badar. Abu Lahab berkata, “Datanglah kemari sungguh aku menanti beritamu.
Kemudian duduklah Abu Jahal dan orang-orang berdiri mengerumuni sekitarnya. Berkatalah Abu Lahab, “Wahai putra saudaraku beritakanlah bagaimana keadaan manusia (dalam perang Badar)?” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah tatkala kami menjumpai mereka, tiba-tiba mereka tidak henti-hentinya menyerang pasukan kami, mereka memerangi kami sesuka mereka dan mereka menawan kami sesuka hati mereka. Demi Allah sekalipun demikian tatkala aku menghimpun pasukan, kami melihat ada sekelompok laki-laki yang berkuda hitam putih berada di tengah-tengah manusia, demi Allah mereka tidak menginjak­kan kakinya di tanah.”
Abu Rafi’ berkata, “Aku mengangkat batu yang berada di tanganku, kemudian berkata, ‘Demi Allah itu adalah malaikat. Tiba-tiba Abu Lahab mengepalkan tangannya dan memukul aku dengan pukulan yang keras, maka aku telah membuatnya marah, kemudian dia menarikku dan membantingku ke tanah, selanjutnya dia dudukkan aku dan memukuliku sedangkan aku adalah laki­-laki yang lemah. Tiba-tiba berdirilah Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha mengambil sebuah tiang dari batu kemudian beliau pukulkan dengan keras mengenai kepala Abu Lahab sehingga melukainya dengan parah. Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha berkata, ‘Saya telah melemahkannya sehingga jatuhlah kredibilitasnya.’
Kemudian bangunlah Abu Lahab dalam keadaan terhina, Demi Allah ia tidak hidup setelah itu melainkan hanya tujuh malam hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan kepadanya penyakit bisul yang menyebabkan kema­tiannya.”
Begitulah perlakuan seorang wanita mukminah yang pemberani terhadap musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi gugurlah kesombongannya dan merosotlah kehor­matannya karena ternoda. Alangkah bangganya sejarah Islam yang telah mencatat Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha sebagai teladan bagi para wanita yang dibina oleh Islam.
Ibnu Sa’d menyebutkan di dalam ath-­Thabaqat al-Kubra bahwa Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha suatu hari bermimpi dengan suatu mimpi yang menakjubkan, sehingga ia bersegera untuk mengadukannya kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah saya bermimpi seolah-olah sebagian dari anggota tubuhmu berada di rumahku.” Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mimpimu bagus, kelak Fatimah melahirkan seorang anak laki-laki yang nanti akan engkau susui dengan susu yang engkau berikan buat anakmu (Qatsam).”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha keluar dengan mem­bawa kegembiraan karena berita tersebut, dan tidak berselang lama Fatimah Rodhiallahu ‘anha melahirkan Hasan bin Ali Rodhiallahu ‘anhu yang kemu­dian diasuh oleh Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha.
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha berkata, “Suata ketika aku mendatangi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, dengan membawa bayi tersebut maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam segera menggendong dan mencium bayi tersebut, namun tiba-tiba bayi tersebut mengencingi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, “Wahai Ummu Fadhl peganglah anak ini karena dia telah mengencingiku.”
Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha berkata, “Maka aku ambil bayi tersebut dan aku cubit sehingga dia menangis, aku berkata, “Engkau telah menyusahkan Rasulullah karena engkau telah mengencinginya.” Tatkala melihat bayi tersebut menangis Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Ummu Fadhl justru engkau yang menyusahkanku karena telah membuat anakku menangis.” Kemudian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam meminta air lalu beliau percikkan ke tempat yang terkena air kencing kemudian bersabda,
“Jika bayi laki-laki maka percikilah dengan air, akan tetapi apabila bayi wanita maka cucilah.”
Di antara peristiwa yang mengesankan Lubabah binti al-Haris Rodhiallahu ‘anha adalah tatkala banyak orang bertanya kepada beliau ketika hari Arafah apakah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam shaum ataukah tidak? Maka dengan kebijakan­nya, beliau menghilangkan problem yang menimpa kaum muslimin dengan cara beliau memanggil salah seorang anaknya kemudian menyuruhnya untuk mengirim­kan segelas susu kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau berada di Arafah, kemudian tatkala dia menemukan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan dilihat oleh semua orang beliau menerima segelas susu tersebut kemudian meminumnya.
Di sisi yang lain Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha mempelajari Hadits asy-Syarif dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan beliau meriwayatkan sebanyak tiga puluh hadits. Adapun yang meriwayatkan dari beliau adalah sang putra beliau Abdulllah bin Abbas Rodhiallahu ‘anhu, Tamam yakni budaknya, Anas bin Malik, dan lainnya.
Kemudian wafatlah Ummu Fadhl Rodhiallahu ‘anha pada masa khalifah Ustman bin Affan Rodhiallahu ‘anhu setelah meninggalkan kepada kita contoh yang baik yang patut ditiru sebagai ibu yang shalihah yang melahirkan tokoh semisal Abdullah bin Abbas Rodhiallahu ‘anhu; kyai umat ini dan Turjumanul Qur’an (yang ahli dalam hal tafsir al-Qur’an), Begitu pula telah mem­berikan contoh terbaik bagi kita dalam hal kepahlawanan yang memancar dari akidah yang benar yang muncul darinya keberanian yang mampu menjatuhkan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling keras permusuhannya.

Ummu Aiman (Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr) wafat..H


Perjalanannya dalam mengiringi kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak dapat diabaikan. Kemuliaan yang disandangnya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak layak dilupakan. Hingga manusia paling mulia itu pun berkata tentangnya, dialah ibu setelah ibuku….
Wanita yang mulia ini bernama Barkah bintu Tsa’labah bin ‘Amr bin Hishn bin Malik bin Salamah bin ‘Amr bin An-Nu’man Al-Habasyiyah radhiallahu ‘anha. Namun dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Aiman.
Semula Ummu Aiman radhiallahu ‘anha adalah seorang budak milik ‘Abdullah bin ‘Abdil Muththalib, ayah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di kemudian hari, setelah ‘Abdullah bin ‘Abdil Muththalib meninggal, Ummu ‘Aiman radhiallahu ‘anha diwarisi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang mengasuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak kecil.
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia enam tahun, beliau dibawa oleh ibunya, Aminah bintu Wahb, mengunjungi keluarga sang ibu dari Bani ‘Adi bin An-Najjar di Madinah. Ummu Aiman radhiallahu ‘anha menyertai perjalanan mereka. Sebulan lamanya mereka berada di sana.
Ada peristiwa yang tercatat dalam kenangan Ummu Aiman radhiallahu ‘anha saat mereka berada di Madinah. Orang-orang Yahudi di sana melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun berujar, “Dia adalah nabi umat ini dan ini adalah negeri hijrahnya.” Ucapan mereka itu diingat benar oleh Ummu Aiman. Setelah itu, Aminah membawa putranya kembali ke Makkah.
Namun ternyata itulah saat terakhir kebersamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sang ibunda. Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, Aminah meninggal di Abwa’, antara Makkah dan Madinah, dan dikuburkan di sana. Pulanglah Ummu Aiman radhiallahu ‘anha membawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua unta tunggangan mereka.
Setelah ibunda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada, Ummu Aiman berperan sebagai ibu bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak heran, banyak kisah yang dapat dituturkan oleh Ummu Aiman radhiallahu ‘anha tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ummu Aiman terus menyertai kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha, Ummu Aiman radhiallahu ‘anha mendapatkan kemerdekaan dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskannya.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha, seorang wanita yang teramat mulia. Dari rahimnya terlahir orang-orang mulia. Ummu Aiman radhiallahu ‘anha menikah dengan ‘Ubaid bin Zaid radhiallahu ‘anhu dari Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Dari pernikahan ini, lahirlah Aiman bin ‘Ubaid radhiallahu ‘anhu yang kelak di kemudian hari turut terjun dalam peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menggapai syahid di medan pertempuran Hunain.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha menjalani kehidupannya sepeninggal suaminya. Saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan, “Siapa yang senang menikah dengan seorang wanita ahli surga, hendaklah dia menikah dengan Ummu Aiman.” Datanglah Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu, bekas budak sekaligus seorang yang sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminangnya. Dinikahkanlah Ummu Aiman radhiallahu ‘anha oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya. Lahirlah Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma yang kelak di kemudian hari menyandang kemuliaan memimpin pasukan terakhir yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi Romawi, sementara dalam barisan pasukan itu ada orang-orang mulia seperti Abu Bakr dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma.
Ummu Aiman mendampingi Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu hingga Zaid meninggal sebagai syahid saat memimpin pasukan dalam kancah pertempuran yang seru di medan Mu’tah, Syam, pada tahun kedelapan setelah hijrah.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha, seorang wanita yang mendapatkan kemuliaan dua hijrah, ke bumi Habasyah dan ke bumi Madinah. Suatu ketika dalam salah satu perjalanan hijrahnya, Ummu Aiman menempuhnya dengan berpuasa. Tiba saat berbuka, tak ada bekal air yang dapat digunakan untuk melepaskan dahaganya yang sangat. Tiba-tiba didapatinya setimba air terulur dari langit dengan tali timba yang berwarna putih. Ummu Aiman pun meminumnya. Ummu Aiman menuturkan, “Semenjak itu, aku berpuasa di siang yang panas dan berjalan di bawah terik matahari agar aku merasa haus, namun aku tidak pernah merasakan dahaga.”
Hijrahnya ke Madinah ditempuhnya selang beberapa waktu setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma dengan berbekal dua ekor unta dan 500 dirham untuk membawa dua putri beliau, Fathimah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, serta Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha. Pada saat itu pulalah Ummu Aiman bersama putranya Usamah bin Zaid bertolak menuju Madinah bersama rombongan ini.
Ummu Aiman terus mengiringi kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga wafatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Mari kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengunjunginya.” Keduanya pun beranjak menemui Ummu Aiman. Ternyata mereka jumpai Ummu Aiman dalam keadaan menangis, hingga mereka pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Bukankah apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ummu Aiman menjawab, “Aku menangis karena wahyu dari langit telah terputus.” Mendengar penuturan Ummu Aiman, berlinanglah air mata Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma hingga keduanya pun menangis bersama Ummu Aiman.
Ummu Aiman radhiallahu ‘anha sempat menemui saat terbunuhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika itu dia mengatakan, “Pada hari ini Islam menjadi lemah.”
Lima puluh bulan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Aiman radhiallahu ‘anha kembali kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala. Dia telah menorehkan sebuah kemuliaan yang akan senantiasa dikenang. Dia meninggalkan untaian kebaikan yang akan memberikan teladan. Ummu Aiman, semoga Allah meridhainya….